
Saya yakin pasti saat mulai membaca judul postingan yang saya buat ini, kalian pasti langsung bertanya? Kenapa memang? Atau mungkin saja kalian langsung terbayang pada rumah Gedek / rumah yang berdinding rumbia / rumah yang kayunya sudah rapuh karena dimakan rayap. Atau mungkin saja kalian langsung membayangkan diri kalian ada di sekitar tumpukan sampah, atau mungkin saja kalian tidak membayangkannya sama sekali karena mungkin kalian berpikir semua rezeki dan hidup ini sudah diatur Tuhan, lantas kalian mengacuhkan pesan yang ingin disampaikan dalam tulisan ini. Bukan bermaksud untuk menggurui. Saya, anda, kalian, dan orang lain saat ini sama. Sama-sama saling belajar dalam hidup ini. Sama-sama makan nasi. Sama-sama terlahir sebagai anak yang dititipkan pesan oleh Tuhan untuk menjadi anak yang baik bagi kedua orangtua kita di dunia. Sama-sama pernah menduduki atau sedang menduduki bangku pendidikan. Sama-sama mendapat ilmu dan kasih sayang dari orangtua kita. Dan tentu saja, dengan kehidupan kita yang sekarang ini sudah tentu dan sudah menjadi kewajiban kita sebagai manusia untuk selalu bersyukur pada Tuhan atas semua nikmat-Nya kepada kita. Hari ini, kita bisa makan makanan lezat. Hari ini kita bisa berlibur ke luar negeri dengan keluarga kita. Hari ini kita mendapat uang jajan dari orangtua kita. Hari ini kita bisa menonton acara televisi kesukaan kita. Hari ini kita bisa memakai pakaian yang bagus dan bersih. Hari ini kita bisa memakai ponsel kamera kita untuk berfoto ria pada teman-teman kita. Hari ini kita bisa membeli sepatu yang termahal di mall. Hari ini kita bisa pergi dengan kekasih kita dan bersuka ria. Hari ini kita bisa pulang-pergi Jakarta-London dalam waktu yang relatif cepat. Hari ini kita bisa naik pesawat terbaik di negeri ini untuk berkeliling Indonesia. Dan masih banyak kegiatan kita yang mungkin kita jarang atau tidak sadar bahwa itu semua nikmat berlebih yang Tuhan berikan pada kita. Kita, termasuk saya pun terkadang lupa untuk mengucap syukur pada Tuhan atas semua kemudahan yang diberikan Tuhan sampai hari ini. Padahal mengucapkan syukur itu tidak lebih membutuhkan waktu hanya beberapa menit saja, bahkan mungkin detik. Waktu saya pergi ke kampus dengan diantar mobil oleh ayah saya. Saat itu kami melewati daerah BKT (Banjir Kanal Timur) daerah Kolonel Sugiono. Di saat sedang lampu merah, saya melihat dua orang tukang yang mengerjakan BKT pagi itu sedang tertidur pulas. Dan apa kalian tahu? 2 pekerja itu tertidur pulas di atas selendang yang dibuat seperti ayunan dan dikaitkan di bawah truk besar untuk mengangkut batu. Saat itu hati saya miris. Kenapa mereka tidak membuat sebuah rumah bedeng untuk berlindung? Padahal sisa tanah yang tidak kena BKT di sekitar itu lumayan luas. Lalu saya bertanya pada ayah saya, ”Pah, kok mereka tidur di situ sih..kasihan..”. Lalu ayah saya menjawab, ”Ya begitulah Dik, hidup orang-orang kecil. Kebutuhan mereka tidak terlalu dipusingkan oleh para pemimpin mereka. Karena mereka merasa tidak punya wewenang penuh untuk menyuarakan kebutuhan mereka, ya mereka terima saja, Dik...Mayoritas selalu memegang kekuasaan hak-hak minoritas.” Lalu saya berpikir. Minoritas dikuasai mayoritas. Miris sekali kalau memang itu hukumnya. Lalu saya kembali melihat beberapa orang pekerja BKT lainnya (dekat daerah Radin Inten) sedang membangun pintu air. Lalu saya kembali bertanya pada ayah saya, ”Pah menurut Papa, insinyur sama pekerja bangunan pinteran mana?”. Dan Papa bilang, ” Keduanya pintar, Dik.
Bahkan seharusnya yang lebih kita hargai kerja kerasnya adalah pekerja bangunannya. Kenapa? Karena mereka lebih. Lebih di sini bisa kita lihat dari keahlian mereka yang sifatnya otodidak atau hanya belajar dari pekerja lainnya yang sudah senior. Bahkan, belum tentu seorang insinyur atau arsitek pun bisa membangun jembatan atau bangunan dari gambar-gambar bangunan yang mereka buat sendiri itu tanpa bantuan para pekerja bangunan yang sudah ahlinya itu.” Saya pun terdiam. Lalu saya pun membayangkan kantor-kantor besar di Jakarta dengan segala orang-orang yang mengisinya. Mereka berjas rapi, duduk di dalam ruangan AC dengan kursi, sofa, atau meja yang bagus sebagai furniture di dalamnya. Dengan teh hangat dan makanan kecil lainnya. Mereka tertawa bahagia di saat jam istirahat tiba. Para exmud-exmud yang terlihat keren dengan jas serta kemejanya yang bagus dan mahal. Para boss yang duduk berleha-leha dibalik meja kayu terbaiknya sambil berchatting ria dengan kliennya, dan hanya menunggu proposal kerja yang bernilai tinggi nominalnya bagi perusahaan untuk ditanda tangani. Lalu saya berpikir, ”Apa pernah ya mereka membayangkan bagaimana kehidupan para pekerja yang telah bersusah payah, berkeringat hebat, membuat ruangan terbaik dan ternyaman untuk mereka. Memahat kursi terbaik untuk mereka siang malam. Bahkan apa pernah mereka berpikir bagaimana keadaan tangan para pekerja itu? Kalau-kalau berdarah terkena ketokan palu, terkena paku. Apa pernah mereka membayangkan kehidupan para pekerja pabrik yang telah membuat jas-jas serta kemeja menjadi indah dan bagus untuk dipakai oleh mereka sekarang? Siang malam dengan upah yang tak seberapa. Para pekerja itu pun ingin berkumpul bersama keluarganya, sama seperti kita, apa pernah mereka, dan termasuk kita membayangkannya? Kita yang merasa lebih tinggi dari mereka hanya bisa, dan hanya sering membayangkan ”istirahat nanti kita makan di restoran mana ya, guys?”, ”kita jalan-jalan kemana nih hari ini?”, ”ada pertunjukan musik di sana loh, nonton yuk..”, ”hmm..hari ini pakai baju yang mana ya?”, ”dua hari lagi gue ke sini..packing dulu ah, beli baju yang bagus..”, ”aduuh...gimana sih masa buat kursi aja gak bener! Pakunya kemana-mana..!”, ”Yeah, tiba juga di Selandia Baru...asiiik..”, ”aduh, kemeja gue luntur lagi. Dasar si Bibi gak bener banget sih nyucinya!”. Bukan bermaksud apa-apa, tetapi hanya mengingatkan untuk saya dan juga untuk kalian. Hal itulah yang mungkin sering ada di pikiran kita. Intinya, kita hanya bepikir yang enak-enak saja, tanpa pernah berusaha masuk ke kehidupan orang-orang kecil di sekitar kita. Contoh kecilnya saja terhadap pembantu di rumah kita. Kadang kita suka marah-marah kepadanya karena sepatu kita belum dicuci, di rumah tidak ada makanan,ngapain aja emang si bibi dari tadi !, baju kita belum disetrika, dan masih banyak hal lainnya yang sering menjadi bahan amarah kita pada si bibi. Pernahkah kita berpikir kalau hari itu Bibi sedang capek, makanya dia tidak membuat masakan, Bibi sedang sedih karena tidak bisa pulang kampung di saat anaknya di sana sedang sakit karena tidak mendapat izin dari orang rumah kita, pernah berpikir kalau Bibi takut untuk meminta uang belanja pada ayah kita di saat uang untuk kebutuhan barang-barang di rumah sudah menipis? Ya itulah, kebanyakan pemuda-pemudia saat ini hanya sering berpikir yang enak-enak saja tanpa pernah dia memikirkan kehidupan orang-orang kecil di sekitarnya. Walaupun tidak semua yang seperti itu, dan mudah-mudahan kita bukan termasuk ke dalamnnya. Amien..
Mungkin inilah sedikit unek-unek saya sebagai anak bangsa tentang kehidupan zaman yang sekarang makin berubah dan makin aneh. Saya selalu berusaha untuk selalu bersyukur atas karunia yang telah Allah berikan pada keluarga saya. Saya, anda, kalian, bukanlah sosok yang sempurna. Begitu juga orang-orang di
sekitar kita. Kita sering menganggap dia sempurna, dia cantik, dia hebat...Namun, apakah pernah kita berpikir sebenarnya dia tidak sesempurna yang seperti kita kira? Bahkan, seorang petani di desa terpencil yang bekerja dengan halal bagi keluarganya pun bisa jauh lebih sempurna daripada bapak-bapak kita yang hanya duduk berleha-leha di atas kursi kekuasaannya tanpa menghiraukan tangisan orang-orang di sekitarnya hanya untuk meminta keadilan dan kesejahteraan demi sesuap nasi dan bangku sekolah untuk anak mereka. Cobalah kita belajar untuk memasuki kehidupan orang-orang kecil di sekitar kita, jika memasuki sulit kita lakukan cobalah untuk merasakan panas matahari yang dirasakan mereka, bau asap knalpot kendaraan yang sering menyembur ke wajah mereka, merasakan kasarnya telapak tangan mereka untuk sesuap nasi, bayangkan kalau tiba-tiba suatu saat nanti kita terjatuh. Nasi yang dulu kita mudah dapatkan saat ini sangat sulit dicari. Rasakan saja, tidak perlu kau masuki jika kau anggap itu mustahil bagi hidupmu. Namun, yang harus kita tahu dan kita lakukan adalah tetaplah jadi sosok yang sederhana di manapun kita memijakkan kaki ini. Karena dengan kesederhanaan kita akan mendapat kepuasan bathin tersendiri dalam hidup kita dan itu akan membuat orang lain lebih menghargai kita karena kebaikan, ketulusan, dan kewibawaan kita dan bukan karena kekayaan, tahta, serta jabatan yang kita miliki.
No comments:
Post a Comment