Wednesday, July 7, 2010

Istriku, Matahariku di dunia.


Kini kau terbaring lemah di atas ranjang rumah ini.
Kakimu terbujur lelah seolah tak berdaya.
Tapi, sampai siang ini kau masih tersenyum padaku.
Senyuman paling indah dan menawan dari bibir mungilmu.
Walau kau tampak sangat tua saat ini, namun bagiku kau sama.
Sama seperti saat pertama kali aku mengenalmu.
Istriku, aku tahu kau kuat.
Kau wanita yang paling kuat yang pernah aku temui.
Segala terpaan hidup pernah kau rasakan.
Aku bersamamu. Bahagia.

Siang ini, kau makan lahap. Tidak seperti orang sakit lainnya.
Kau berkata, aku lahap karena suapan yang ada dihadapanku adalah cinta.
Kala itu aku menitikkan airmataku, Istriku..
Dan kau membasuhnya walau dengan tangan tuamu yang sudah gemetar.
Istriku..
Kau bidadari Tuhan yang dikirim ke dunia untukku
Kau wangi syurga yang menungguku kelak
Kau senyuman Tuhan di dunia
Kau guru untukku
Aku ingat,
Saat pertama kali kita bertemu.
Senyummu adalah sorotan pertama mata hatiku.
Rasa tulusmu sebagai penyemangatku.
Saat kujabat tangan mungilmu didepan khalayak orang.
Kau berbisik, aku akan berusaha menjadi matahari, Suamiku..
Saat hari-hari pertama kita bersatu di dalam rumah,
Aku egois, dan aku menamparmu karena kesal teh buatanmu untukku tidak manis. Padahal aku tidak tahu saat itu kau sedang sakit, tidak enak mencicipi.
Kau tertunduk diam. Menitikkan airmatamu.
Dan aku pergi ke kamar dengan laptopku tanpa menghiraukanmu yang sedih.
Hatimu hancur pasti saat itu.
Aku egois. Aku hanya mementingkan kebutuhanku saja.
Aku egois. Aku punya masalah dengan klien di kantorku.
Maafkan aku, Istriku..
Saat kau berjuang keras melahirkan buah hati kita.
Aku menunggumu di samping kau.
Aku pegang erat tanganmu.
Dan, akhirnya kau berhasil mengeluarkan seorang bayi mungil kita. Saat ini dia pun sudah berkeluarga, sayang...sama seperti kita dulu.
Saat kau mulai kembali dengan aktivitasmu
Rumah berantakan.
Itu pun karena ulahku.
Setiap malam aku selalu mengundang teman-teman kantorku main di rumah hingga larut. Bersenda gurau. Tak penting, bukan pekerjaan.
Kau yang baru istirahat satu jam hari ini, kupaksa untuk memasak makanan terlezat bagi kawan-kawanku.
Jika minuman hangat habis, aku menyuruhmu membuatkan jus buah segar. Kadang jika gula pemanis habis, kau harus pergi ke toko malam itu. Sendirian. Dan aku tetap dengan kawan-kawanku.



Aku pun tidak tahu jika di jalan ternyata kamu dihadang dua lelaki muda iseng yang meminta uang rokok padamu. Tapi kau tidak pernah mengadukan padaku keluh kesah kesedihanmu.
Karena kau takut aku main fisik dan marah pada kedua anak berandal tadi.
Hari-hari berlalu, kau pun semakin menua.
Rambut putihmu sudah makin bertambah. Banyak.
Padahal usiamu lebih muda dariku.
Istriku, maafkan aku jika aku sering melampiaskan emosiku padamu.
Istriku, maafkan aku bila aku jarang memahami perasaanmu.
Istriku, maafkan aku bila aku sering menguasaimu dalam keluarga ini.
Pernah suatu ketika saat aku terjatuh dari pohon kau menangis melihat keadaanku. Luka baretan pada betisku dan darah segar yang mengalir ke tanah halaman.
Kau membalutku, kau mengobatiku penuh dengan ketulusan. Cinta. Itulah prinsip yang selalu kau pegang dalam setiap pekerjaanmu sebagai ibu rumah tangga.
Istriku, maafkan aku jika aku sering membandingkanmu dengan istri temanku yang seorang wanita karier. Beruang banyak dan cantik.
Sedangkan kau tiap harinya hanya memakai daster batik saja. Bosan. Itulah kata yang sering aku ucapkan.

Kala itu, kau tersenyum dan mengucapkan permohonan maaf.
Tengah malamnya, di saat aku tertidur lelap, ternyata kau membuat sebuah baju gaya kuno kesukaanmu dengan mesin jahit tua pemberian Ibumu.
Kau membuat itu tak lain dan tak bukan agar kau senang dan tidak sedih lagi melihat keadaan istrinya yang mungkin ku bilang butut saat itu.
Sorenya, saat aku pulang kantor. Kulihat kau telah berdandan rapi lengkap dengan blous kuno buatanmu kemarin malam.
Aku acuh. Biasa saja, dan menanyakan mana teh untukku.
Padahal mungkin saat itu kau sangat berharap aku akan memelukmu dan mengatakan kau tetap cantik walaupun kau hanya memakai pakaian daster, dan hari ini kau tampak lebih cantik, sayangku..
Namun, aku tidak begitu. Aku langsung tertidur. Pulas. Tak sepatah kata pun dari mulutku mengomentari baju buatanmu.
Hari-hari kau jalani seperti itu bersamaku. Padahal kau tahu, saat masih menjadi sepasang mud sejoli dulu aku tidak begini. Aku romantis dan baik. Maafkan..Itu hanya agar kau tertarik padaku. Dulu kau cantik namun semakin menua, aku bosan dengan wajahmu.
Istriku, maaf...
Maafkan aku...
Aku tersadar...
Aku baru sadar dari dunia fanaku...
Cinta bukanlah sesuatu yang bersifat fisik semata
Bahkan cinta tak peduli dengan itu
Kau menerimaku apa adanya
Kau menerima segala keburukanku dengan senyumanmu
Kau menerima segala keegoisanku dengan ketulusanmu
Namun, betapa bodohnya aku baru tersadar di saat waktumu telah tiba
Malam ini aku menangis lagi dan kau membasuh pipiku dengan tangan tulangmu
Istriku, aku sangat berharap di saat waktumu nanti aku bisa melihat kasih sayang yang terpancar dari bibirmu

Aku berharap masih bisa memanggil waktu untuk mengulangi semua kebodohanku dahulu
Tak bisa. Kata waktu.
Tak perlu kau sesali kebodohanmu jika kau baru tersadar saat ini. Kata waktu.
Istriku, kau telah memenuhi janjimu dulu sebagai matahari untukku. Sampai detik ini. Kau adalah matahariku. Kau adalah bidadariku di dunia. Dan aku berdoa pada Tuhan supaya kau menjadi wangi syurga yang menungguku di depan gerbang keabadian kelak.
Selamat jalan, sang Matahariku..

2 comments:

subroto_28 said...

perfect..............!!
jauh di lubuk hat terdalam aq terhenyak akan note yg begitu menyentuh .... bagaimana bisa kita sbg laki2 seolah istri punya kewajiban itu....maaf istriku..!!

DHINAR A FITRIANY said...

Terima kasih sudah baca postingan saya..semoga ada manfaat yg bisa diambil utk kita semua Amin.. :)