Wednesday, April 6, 2011

Mawar Putih


Namaku Senja. Seperti pagi di hari-hariku sebelumnya, aku selalu bersamanya. Si cantik yang berwarna putih. Mawar putih. Tiap harinya, sebelum aku berangkat menemui pasien-pasienku di rumah sakit, aku selalu menyempatkan diri untuk menengok mawar putih yang ada di taman kecil rumahku. Dan, tak lupa kubawa beberapa tangkai sebagai oleh-oleh untuk pasien-pasienku di rumah sakit. Hasilnya, pasien-pasienku selalu memelukku dengan erat karena merindukan diriku walau barang satu hari tak bertemu mereka.



Pagi ini begitu cerah walau sang matari sedikit menyilaukan mataku. Kulirik jam tangan kecil yang melingar di pergelangan tanganku, pukul tujuh lewat lima belas. Wow, aku sudah tak sabar bertemu dengan Banyu, pasienku yang mengidap penyakit leukimia dan hampir sebulan ini aku tangani. Meski Banyu lebih tua dariku dua tahun, entah kenapa sikapnya seperti remaja berusia 18 tahun yang barus duduk di bangku kuliah. Berisik. Satu kata untuknya dariku. Tapi, walaupun begitu aku terkesan dengannya. Kenapa? Karena Banyu adalah orang yang memiliki semangat tinggi untuk sehat dan berusaha mengatakan pada dirinya bahwa dia tidak sakit, dia sehat!. Itulah yang membuatku menjadi kagum dengannya.

"Selamat pagi, Banyu!" sapaku sambil tersenyum.
"Hai, dokter cantik! Pagi juga. Mana mawar putih buat saya?" jawabnya seraya menagih mawar putih seperti hari-hari sebelumnya. Aku tersenyum melihat kelakuannya.
"Sabar dulu. Sudah sarapan belum? Sudah minum obat?" tanyaku kembali sambil mengecek kondisinya pagi. Banyu mengangguk pelan.
"Oke, ini hadiah untuk Mas Banyu pagi ini. Mawar putih dengan pita pink !" kataku sambil memberinya sebatang mawar putih dari taman di kebun rumahku.

Banyu mencium harum mawar putih yang aku baru berikan pagi ini. Lembut wanginya, katanya sambil tersenyum.
"Terimakasih ya, Dokter Senja. Mawar putihnya cantik secantik kamu..". Aku yang mendengar ucapannya yang sangat beda pagi ini entah kenapa jadi tertawa kecil.
"Tidak salah itu memuji saya cantik? Kemarin-kemarin saat saya kasih mawar putih kok tidak dipuji? Aneh...hehehe"
"Karena semalam mawar putih ini mengatakan kalau kamu yang harus saya cintai." Ucap Banyu pelan sambil terus menatap mawar putih yang dipegangnya. Aku tersenyum.

*************************************************************************************

Bunda memanggilku dari lantai bawah. Katanya, Bunda minta diantar ke rumah temannya. Perjalanan menuju rumah teman Bunda hanya sekitar tiga puluh lima menit saja. Dekat ya rupanya, bathinku. Sebuah rumah kuno dengan halaman yang cukup besar dan rindang terpampang indah di depan mataku. Di sudut bangunan ternyata ada sebuah lapangan basket yang lumayan besar dan sebuah kolam ikan kecil menghiasi halaman rumah itu Setelah mengucapkan salam, seorang lelaki yang mungkin berusia delapan belas tahun berjalan mendekati kami yang masih berdiri di depan gerbang rumahnya.
"Maaf Ibu mencari siapa ya?" tanyanya ramah.
"Ini rumah Ibu Zeila, Nak?"tanya Bunda pada anak lelaki itu. Anak lelaki itu mengangguk pelan, dan langsung tahu nama Bunda. Oh, Ibu Aruni ya?Silahkan masuk. Katanya.

Di tengah ruangan, Aku dan Bunda duduk diam sambil memandangi sebuah kolam di samping ruangan. Air kolam itu gemiricik mengeluarkan air, dan terkadang terdengar suara air karena lompatan ikan-ikan di dalamnya. Aku berjalan pelan mengelilingi ruangan yang menurutku sangat klasik itu, di tengah ruangan ada sebuah tembok tungku api. Wow, indah sekali, bathinku. Seperti di rumah-rumah yang ada di luar negeri. Aku sedikit norak memerhatikannya dan mataku segera menangkap jejeran foto-foto yang terdapat di atas tembok tungku api itu. Kulihat, keperhatikan. Dan, ternyata aku menangkap sesosok foto pria yang sangat kukenali. Dia Banyu. Tak berapa lama kemudian, seorang ibu yang aku kira seusia dengan Bunda berjalan dari lorong ruangan mendekati Aku dan Bunda. Ibu itu langsung memeluk Bunda sambil meneteskan airmatanya. Bunda mengelus punggung Ibu itu seolah sebuah isyarat untuk menenangkan hatinya.

"Ibu, yang sabar. Ini jalan terbaik yang diberikan Tuhan untuk anak sulungmu. Anakmu pasti sudah bahagia di sana. Jangan kamu tangisi terus, berdoalah untuknya selalu dalam tiap sujudmu. Ya.." ucap Bunda sambil ikut meneteskan airmatanya.

Mendengar ucapan kedua Ibu yang ada dihadapanku membuatku membeku. Aku terdiam, dan tak kuasa untuk mendengar tiap kalimat yang keluar dari bibir Ibu Zeila dan Bunda tentang meninggalnya anak Ibu Zeila. Ya, Banyu. Meninggalnya sesosok Banyu, pasienku, sekaligus pria yang kucintai sebagai sahabat. Ah, Tuhan aku benar-benar tak kuasa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di hadapanku. Betapa jahatnya aku. Aku sangat tega. Mungkin empat pagi yang lalu itu, sudah menjadi firasatku, aku selalu lupa membawakan mawar putih untuk Banyu pasienku. Namun, aku tidak merasakan apapun. Aku tidak merasa bahwa itu adalah sebuah firasat untukku. Bahkan, ketika Banyu mengatakan akulah yang harus dicintainya, aku menganggap itu hanya sebuah pujian belaka tanpa memiliki makna apapun. Dan empat hari yang lalu itu, entah kenapa aku merasa aku sangat lelah untuk menengok pasienku, Banyu. Aku tak tahu kenapa. Tuhan, maafkan aku. Maafkan bila aku telah menyia-nyiakan cinta seorang pria yang begitu baik padaku. Mungkin, mawar putih akan selalu mengingatkanku tentang sosok Banyu. Sampai hari terakhirnya pun aku tidak tahu, dan tidak merasa harus tahu bagaimana kondisinya karena Banyu pindah perawatan di rumah sakit lain, kata suster Dina dua hari yang lalu.

Mawar putih dan Banyu, adalah memori terindahku. Maafkan aku Banyu, semoga mawar putih dariku akan selalu bersama dalam tidur nyenyakmu. Maaf Banyu, sampai hari terakhirmu pun aku belum bisa mencintaimu, seutuhnya.

No comments: