Wednesday, August 20, 2014

KARENA PADA AKHIRNYA SEMUANYA AKAN BERPISAH


Assalamualaikum...
Selamat malam teman-teman yang sedang membaca blog saya. Sebelumnya, saya mengucapkan terima kasih karena baik sengaja maupun tidak sengaja, teman-teman telah meluangkan sedikit waktunya untuk membaca salah satu tulisan saya di blog ini.


Entah, malam ini, tiba-tiba saya terdorong ingin menulis tentang keikhlasan tanpa syarat. Mengingat kemarin malam, saya panjang lebar saling bercerita dengan salah seorang teman baik saya, bernama Rivaldi, atau biasa dipanggil dengan sebutan Bule (karena perawakannya indo-indo begitu). Ya, kami membahas soal keikhlasan.

           
Keikhlasan tanpa syarat. Sebenarnya, jika saya ditanya oleh orang, apakah saya termasuk orang yang ikhlas, saya juga bingung jawabnya. Kalau saya jawab, iya saya adalah orang yang ikhlas, bisa jadi orang tersebut malah tidak yakin dengan jawaban saya. Mungkin juga malah jadi berpikir, “Kok ikhlas ngomong-ngomong sih?”. Namun, jika saya jawab, “Saya nggak tahu, saya orang yang ikhlas atau bukan”. Bisa jadi orang tersebut malah menertawai saya karena jawaban saya. Mungkin juga timbul pikiran, “Ya masa memahami dirinya sendiri nggak bisa, bagaimana memahami orang lain?”. Mengapa dengan kedua jawaban yang berlawanan seperti itu, jawaban tentang ikhlas akan selalu terasa tidak sesuai? Ya, itulah manusia. Kita berbuat baik atau berbuat tidak baik, ada saja yang terlihat salah dari mata orang lain. Begitu pula ketika kita menerapkan keikhlasan tanpa syarat di hidup kita.

            
Saya bukan seorang motivator yang bisa menerangkan secara jelas apa itu ikhlas. Saya juga bukan ahli agama yang lebih paham tentang ilmu ikhlas. Hanya saja, hingga saat ini saya selalu mencoba berusaha mendalami apa sebenarnya makna dari kata ikhlas di luar makna leksikalnya. Saya tidak ingin menjelaskan apa itu ikhlas, karena saya sendiri pun masih berusaha mendalami hal tersebut. Di sini, saya hanya ingin berbagi sedikit pengalaman dan bagaimana saya menyikapi pengalaman tersebut.

             
Untuk lebih mudahnya, saya mengambil hal-hal umum yang seringkali kita temui di kehidupan nyata. Persoalan kematian orang tercinta dan berpisah dengan seseorang yang kita sayangi. Tepatnya, kematian dan percintaan.

            
Usia saya saat ini 23 tahun. Ketika usia 16 tahun, tepatnya ketika saya masih duduk di bangku kelas XI IPA SMA, ibu saya meninggal dunia karena sakit jantung. Bisa teman-teman bayangkan? Ketika di usia itu, totally, saya tidak bisa apa-apa. Masih baik jika saya bisa masak air. Namun, nyatanya? Saya menyalakan kompor saja tidak bisa. Hingga pada usia itu, saya bisanya hanya bermain bersama teman, jalan-jalan dengan teman, pulang sekolah menanyakan makanan ke ibu saya, lalu melakukan aktivitas lain yang saya sukai. Aktivitas yang saya tidak sukai, apalagi beres-beres rumah, super jarang saya lakukan, kecuali di akhir pekan, itu juga hanya menyiram tanaman dan membersihakan tempurung kura-kura saya. Intinya, hingga usia 16 tahun, ketika ibu saya meninggal, status saya adalah anak termanja di dunia, mungkin.

         
Beberapa hari sepeninggal ibu saya, entah ada angin apa, di dalam kamar saya berpikir. “Ya Allah, kenapa sih ngambil Mama cepet banget. Aku nggak tahu bisa kuat atau nggak. Kenapa Allah ngambil Mama pas aku masih SMA begini? Kenapa nggak nanti pas aku udah mapan, udah gede, pas aku udah punya keluarga sendiri, pas aku udah benar-benar yakin bisa mandiri? Kalau sekarang aku nggak tahu bisa mandiri atau nggak. Kenapa Allah ngambil Mama di saat-saat aku butuh banget semangat dari Mama untuk aku ngadepin ujian akhir sekolah nanti? Di saat aku butuh saran ketika aku pilih jurusan di universitas nanti? Di saat anak lain kalau lagi suka sama temen cowok bisa curhat ke Mamanya, masa aku curhatnya ke Papa, kan sama Papa belum boleh pacaran, nanti ketahuan aku lagi suka sama orang terus malah jadi nggak bisa temenan deket sama cowok itu?. Ya, intinya berpikir ‘kenapa Allah Swt berkehendak memanggil ibu saya dalam waktu yang cepat, ketika saya berumur 16 tahun?’. Pikiran-pikiran yang cenderung mengarah ke keluhan kepada Allah Swt dan pertanyaan-pertanyaan batin, seperti ‘kenapa mesti saya yang harus mengalami ini lebih dulu dibandingkan teman-teman saya yang lain?’.

             
Selama dua bulan, saya kerap berpikir hal-hal tersebut, hingga pada akhirnya saya mendapat sebuah mimpi setelah saya shalat tahajud. Mimpi bertemu dengan ibu saya, namun ibu saya tidak bicara di mimpi itu, hanya tersenyum dan sesekali diam. Di mimpi itu, saya diajak ibu saya naik sebuah kereta yang ukurannya panjang sekali dan pemandangan di kiri-kanan kereta yang saya naiki sungguh-sungguh indah, tapi aneh menurut saya waktu di mimpi itu. Pepohonannya warna-warni, bentuk daunnya besar-besar dan bermotif, ada yang bulat, ada yang bercak-bercak kecil. Hawa di daerah itu sangat sejuk sekali, dan jalanannya seperti tertutup entah salju atau kapas, warnanya putih dan lembut, tapi saya tidak melihat ada cahaya matahari di sekeliling saya, hanya saja terang sekali. Rumah-rumah yang berdiri kokoh di perbukitan, bentuknya juga lucu-lucu, ada yang bentuk lonjong, kotak, segitiga, bulat. Aneh, tidak pernah saya lihat sebelumnya. Hingga pada ketika di mimpi itu, ibu saya menunjuk sebuah rumah berbentuk persegi dan ada bangunan segitiganya juga, berwarna putih dengan dikelilingi bunga-bunga, lalu saya bertanya, “Itu rumah Mama? Kok aneh bentuknya, Mah?”, ibu saya mengangguk dan tersenyum. Di mimpi itu, saya keluar kereta, dan berjalan ke arah rumah yang katanya ibu saya, itu ialah rumahnya. Saya disuruh tunggu di pelataran rumah, menunggu ibu saya yang menyapa seorang anak kecil dan seorang kakek yang tinggal di dekat rumah ibu saya itu. “Itu tetangga, Mama?”, dan ibu saya hanya mengangguk. Di mimpi itu, yang saya ingat semua orang-orang di sekitar saya memakai pakaian berwarna putih, persis pakaian ihram haji dan pakaian gamis panjang putih tapi tidak berkerudung. Hanya saya, yang saya sadari berbeda dari orang-orang di sekitar saya, pakaian yang saya kenakan, jeans dan kaos panjang. Entah, di mimpi itu saya juga hanya memerhatikan sekitar dan aktivitas yang ibu saya lakukan. Menyiram bunga, bersenda gurau dengan tetangganya, ya...saya ditinggal sendiri oleh ibu saya di mimpi itu. Sampai ketika saya diajak ibu saya ke sebuah ruangan besar berwarna putih dan lagi-lagi saya diisyaratkan untuk menunggu ibu saya saya. Di ruangan itu ada sebuah piano ukurannya mungkin seperti grand piano, warnanya lagi-lagi putih. Saya hanya celingak-celinguk. Anehnya, orang lain seperti tidak melihat saya, atau saya yang tidak terlihat, tidak tahu, namanya juga mimpi. Sekembalinya ibu saya, ternyata beliau didampingi oleh sesosok pria (wajahnya tidak terlihat jelas, tapi saya tahu ia sesosok pria). Pria itu berkacamata, berkulit putih susu, badannya tinggi besar (bongsor), dan ia menggandeng tangan ibu saya. Di bagian mimpi inilah, satu-satunya waktu ibu saya mengeluarkan suara kepada saya, yaitu “Ade tenang aja ya. Mama di sini baik-baik aja. Ade harus mandiri dan sabar. Nanti, dia (maksudnya si pria di mimpi ini) yang akan nemenin Ade. Ade jangan sedih, dia anak baik pasti sayang sama Ade.” Dan, bagian mimpi selanjutnya, saya bermain piano bersama pria itu. Tiba-tiba ruangan itu jadi sangat terang, dan orang-orang yang berpakaian putih di sekitar saya juga hilang, termasuk ibu saya, habis itu saya terbangun. Begitulah mimpi. Sampai sekarang saya masih suka berpikir maksud dari mimpi itu. Walaupun mimpi adalah bunga tidur, tapi Allah Swt punya sekian banyak cara dan perantara untuk hamba-Nya berpikir, bukan? Jadi, kadang saya masih penasaran makna dari mimpi itu, hingga saat ini. Sangat jelas tiap-tiap gambaran di mimpi itu.

             
Sejak saya mengalami mimpi itu, entahlah ada angin apa, saya jadi sangat semangat untuk belajar menjadi seorang anak perempuan yang mau tahu urusan rumah. Belajar memasak, mencuci baju, menyapu, mengepel, dan sedikit demi sedikit mengubah penampilan saya lebih feminin dibandingkan sebelumnya, sekalipun kadang saya masih keluar grasak-grusuknya. Tanpa saya sangka sendiri, saya berani menyalakan kompor, saya bisa masak mie sendiri, bisa masak air sendiri, akhirnya bisa masak nasi sendiri, dan saya mau kotor-kotoran membersihkan rumah. Tadinya mah boro-boro... hehe... mencuci piring aja kalau tidak dipelototin dulu juga tidak gerak. Akhirnya pun, saya bisa menyetrika baju sendiri dengan lipatan yang rapi dan halus. Tadinya? Jangan ditanya deh hehe.. Ampuuun.. :) Kesemua hal itu saya dapat lakukan tanpa diajari oleh orang yang lebih dewasa atau lebih berpengalaman. Setelah kejadian mimpi itu, saya berpikir, saya berniat, saya hanya harus bisa menjaga ayah saya dengan baik sepeninggal ibu saya, bagaimana pun caranya. Hanya itu. Di sisi lain, dalam hati saya, keluhan-keluhan saya ke Allah Swt tentang mengapa Allah Swt cepat sekali mengambil ibu saya, pada akhirnya luntur dengan sendirinya, ketika saya sadar bahwa saya harus ikhlas. Harus ikhlas karena pada akhirnya semuanya akan berpisah. Siapapun. Saya jadi sadar, yang mungkin mengalami seperti ini bukan hanya saya saja, tapi banyak anak perempuan lain di luar sana yang mengalami seperti ini. Mungkin lebih sulit dari saya. Hanya itu pikiran saya kala itu.

             
Menerima bahwa saya adalah salah satu anak perempuan di dunia ini yang pernah ditinggal oleh ibu tercinta dalam keadaan super manja, dalam keadaan cenderung suka mengeluh, dan perasaan khawatir tidak dapat melalui hari-hari selanjutnya di hidup saya. Namun, nyatanya Allah Swt punya segala macam cara untuk membuka keikhlasan hati hamba-Nya. Sejak saat itu, saya mulai memahami mengapa kita tidak boleh berlebihan terhadap sesuatu, baik senang maupun sedih? Mengapa kita harus mengalami pertemuan dan perpisahan? Mengapa kita harus mengalami sakit dan sehat? Mengapa kita harus mengalami hidup dalam kesusahan dan hidup dalam kecukupan harta? Mengapa kita harus mengalami pengkhianatan dan kesetiaan? Dan semua hal yang berlawanan di dunia ini. Sebenarnya, karena Allah ingin kita berusaha agar selalu ikhlas tanpa syarat. Ikhlas menerima bahwa segala yang terlihat oleh mata kita, teraba oleh tangan kita, tercium oleh hidung kita, terdengar oleh telinga kita, pasti akan berpisah dengan kita pada akhirnya. Apapun cara-Nya kepada kita.

            
Begitu pula soal percintaan. Dalam hal ini, saya tidak ingin bercerita banyak, karena dalam soal ini, saya merasa hal ini di hidup saya masih tidak terlalu indah hehe sedih ya. Beberapa kali saya dekat (dalam arti pacaran) dengan seorang pria, pasti ada saja masa saya ditikung olehnya. Bahasanya apa ya yang enak? Hehe kalau dikhianati sepertinya terlalu melankolis. Ya, intinya ketika saya sedang pacaran dengan seseorang, tiba-tiba ada saja pria yang tipenya slonong-boy, ketemu yang baru, langsung cusss pergi. Begitulah hidup hehe... Namun, saya pernah ketika patah hati, saking kecewanya sampai lebay begitu sedihnya. Nah, selama mengalami masa lebay itu, saya berpikir, “Kenapa saya jadi begini? Kenapa mesti sedih juga? Saya bisa mandiri ketika Mama meninggal, kenapa saya nggak bisa mandiri ketika si X pergi dari hari-hari saya? Toh si X pas saya sedih mungkin dia lagi jalan-jalan sama si Y. Kok begini sih? Berarti ada yang nggak beres sama pemikiran saya.” Lagi-lagi, saya berusaha keras untuk menerima dengan ikhlas bahwa segala yang nyata di hidup saya pasti akan berakhir dengan perpisahan. Lagi-lagi, saya belajar kembali mendalami apa itu ikhlas tanpa syarat.

             
Hingga pada hari ini, ketika saya mengalami patah hati, pengaruh dari belajar dan belajar tentang ikhlas tanpa syarat itu sangat besar bagi saya pribadi. Contoh kecilnya, ketika saya patah hati. Ketika saya menyukai seseorang tapi bertepuk sebelah tangan. Ketika saya menyayangi seseorang, tapi orang itu menyayangi orang lain. Teman-teman tahu? Saya uring-uringannya hanya satu hari loh. Memang sih di satu hari itu segala pertanyaan berputar di kepala saya. Kenapa si X begini? Kok si X begitu? Dan sebagainya. Ya satu hari yang penuh pertanyaan dan keluhan. Namun, besoknya? Hati saya normal seperti sedia kala. Lagi-lagi, karena saya menuntut diri saya sendiri untuk ikhlas akan segala hal, baik buruk yang terjadi kepada saya hari ini dan hari esok. Lagi-lagi, karena saya menuntut diri saya untuk paham bahwa pada akhirnya semuanya akan berpisah.

            
Teman-teman, Allah Swt punya segala cara untuk membuat hamba-Nya menangis dan tertawa lagi. Menangis mengapa dulu tertawa, dan tertawa mengapa dulu menangis. Saya juga masih belum yakin apakah saya adalah orang yang ikhlas atau hanya sekedar menerima tanpa kelapangan hati. Hanya saja, saya selalu bertekad untuk mengingatkan diri saya sendiri akan kefanaan dunia. Mengingatkan diri saya sendiri bahwa semuanya pasti akan berpisah. 

Lalu kenapa saya harus bersedih berlebihan? Lalu kenapa saya harus bergembira berlebihan? Kenapa saya harus berlebihan, jika ikhlas tanpa syarat itu jauh lebih baik pengaruhnya dalam hari-hari saya dibandingkan banjir air mata dan ramai gelak tawa?



Wassalam,

Dhinar A. Fitriany



Jakarta, 18 Agustus 2014




1 comment:

Unknown said...

bu dhinar saya handi dan saya sangat suka sekali dengan tulisan bu dhinar gak tau kenapa saya terharu sampai sampai meneteskan air mata karna membaca novel dari bu dhinar ini saya jadi teringat bunda dan seseorang yang saya cintai bu

i love you bu dhinar with all stories, you are the best