Assalamualaikum...
Selamat malam teman-teman yang sedang membaca blog saya. Sebelumnya, saya mengucapkan terima kasih karena baik sengaja maupun tidak sengaja, teman-teman telah meluangkan sedikit waktunya untuk membaca salah satu tulisan saya di blog ini.
Entah, malam ini,
tiba-tiba saya terdorong ingin menulis tentang keikhlasan tanpa syarat.
Mengingat kemarin malam, saya panjang lebar saling bercerita dengan salah
seorang teman baik saya, bernama Rivaldi, atau biasa dipanggil dengan sebutan
Bule (karena perawakannya indo-indo begitu). Ya, kami membahas soal
keikhlasan.
Keikhlasan tanpa
syarat. Sebenarnya, jika saya ditanya oleh orang, apakah saya termasuk orang
yang ikhlas, saya juga bingung jawabnya. Kalau saya jawab, iya saya adalah
orang yang ikhlas, bisa jadi orang tersebut malah tidak yakin dengan jawaban
saya. Mungkin juga malah jadi berpikir, “Kok ikhlas ngomong-ngomong sih?”.
Namun, jika saya jawab, “Saya nggak tahu, saya orang yang ikhlas atau bukan”.
Bisa jadi orang tersebut malah menertawai saya karena jawaban saya. Mungkin
juga timbul pikiran, “Ya masa memahami dirinya sendiri nggak bisa, bagaimana
memahami orang lain?”. Mengapa dengan kedua jawaban yang berlawanan seperti
itu, jawaban tentang ikhlas akan selalu terasa tidak sesuai? Ya, itulah
manusia. Kita berbuat baik atau berbuat tidak baik, ada saja yang terlihat
salah dari mata orang lain. Begitu pula ketika kita menerapkan keikhlasan tanpa
syarat di hidup kita.
Saya bukan seorang
motivator yang bisa menerangkan secara jelas apa itu ikhlas. Saya juga bukan
ahli agama yang lebih paham tentang ilmu ikhlas. Hanya saja, hingga saat ini
saya selalu mencoba berusaha mendalami apa sebenarnya makna dari kata ikhlas di
luar makna leksikalnya. Saya tidak ingin menjelaskan apa itu ikhlas, karena
saya sendiri pun masih berusaha mendalami hal tersebut. Di sini, saya hanya
ingin berbagi sedikit pengalaman dan bagaimana saya menyikapi pengalaman
tersebut.
Untuk lebih mudahnya,
saya mengambil hal-hal umum yang seringkali kita temui di kehidupan nyata.
Persoalan kematian orang tercinta dan berpisah dengan seseorang yang kita
sayangi. Tepatnya, kematian dan percintaan.
Usia saya saat ini 23
tahun. Ketika usia 16 tahun, tepatnya ketika saya masih duduk di bangku kelas
XI IPA SMA, ibu saya meninggal dunia karena sakit jantung. Bisa teman-teman
bayangkan? Ketika di usia itu, totally, saya
tidak bisa apa-apa. Masih baik jika saya bisa masak air. Namun, nyatanya? Saya
menyalakan kompor saja tidak bisa. Hingga pada usia itu, saya bisanya hanya
bermain bersama teman, jalan-jalan dengan teman, pulang sekolah menanyakan
makanan ke ibu saya, lalu melakukan aktivitas lain yang saya sukai. Aktivitas
yang saya tidak sukai, apalagi beres-beres rumah, super jarang saya lakukan,
kecuali di akhir pekan, itu juga hanya menyiram tanaman dan membersihakan
tempurung kura-kura saya. Intinya, hingga usia 16 tahun, ketika ibu saya
meninggal, status saya adalah anak termanja di dunia, mungkin.
Beberapa hari
sepeninggal ibu saya, entah ada angin apa, di dalam kamar saya berpikir. “Ya
Allah, kenapa sih ngambil Mama cepet banget. Aku nggak tahu bisa kuat atau
nggak. Kenapa Allah ngambil Mama pas aku masih SMA begini? Kenapa nggak nanti
pas aku udah mapan, udah gede, pas aku udah punya keluarga sendiri, pas aku
udah benar-benar yakin bisa mandiri? Kalau sekarang aku nggak tahu bisa mandiri
atau nggak. Kenapa Allah ngambil Mama di saat-saat aku butuh banget semangat
dari Mama untuk aku ngadepin ujian akhir sekolah nanti? Di saat aku butuh saran
ketika aku pilih jurusan di universitas nanti? Di saat anak lain kalau lagi
suka sama temen cowok bisa curhat ke Mamanya, masa aku curhatnya ke Papa, kan
sama Papa belum boleh pacaran, nanti ketahuan aku lagi suka sama orang terus
malah jadi nggak bisa temenan deket sama cowok itu?. Ya, intinya berpikir
‘kenapa Allah Swt berkehendak memanggil ibu saya dalam waktu yang cepat, ketika
saya berumur 16 tahun?’. Pikiran-pikiran yang cenderung mengarah ke keluhan
kepada Allah Swt dan pertanyaan-pertanyaan batin, seperti ‘kenapa mesti saya
yang harus mengalami ini lebih dulu dibandingkan teman-teman saya yang lain?’.
Selama dua bulan,
saya kerap berpikir hal-hal tersebut, hingga pada akhirnya saya mendapat sebuah
mimpi setelah saya shalat tahajud. Mimpi bertemu dengan ibu saya, namun ibu
saya tidak bicara di mimpi itu, hanya tersenyum dan sesekali diam. Di mimpi
itu, saya diajak ibu saya naik sebuah kereta yang ukurannya panjang sekali dan
pemandangan di kiri-kanan kereta yang saya naiki sungguh-sungguh indah, tapi
aneh menurut saya waktu di mimpi itu. Pepohonannya warna-warni, bentuk daunnya
besar-besar dan bermotif, ada yang bulat, ada yang bercak-bercak kecil. Hawa di daerah itu sangat sejuk sekali, dan jalanannya seperti
tertutup entah salju atau kapas, warnanya putih dan lembut, tapi saya tidak
melihat ada cahaya matahari di sekeliling saya, hanya saja terang sekali.
Rumah-rumah yang berdiri kokoh di perbukitan, bentuknya juga lucu-lucu, ada
yang bentuk lonjong, kotak, segitiga, bulat. Aneh, tidak pernah saya lihat
sebelumnya. Hingga pada ketika di mimpi itu, ibu saya menunjuk sebuah rumah
berbentuk persegi dan ada bangunan segitiganya juga, berwarna putih dengan
dikelilingi bunga-bunga, lalu saya bertanya, “Itu rumah Mama? Kok aneh
bentuknya, Mah?”, ibu saya mengangguk dan tersenyum. Di mimpi itu, saya keluar
kereta, dan berjalan ke arah rumah yang katanya ibu saya, itu ialah rumahnya.
Saya disuruh tunggu di pelataran rumah, menunggu ibu saya yang menyapa seorang
anak kecil dan seorang kakek yang tinggal di dekat rumah ibu saya itu. “Itu
tetangga, Mama?”, dan ibu saya hanya mengangguk. Di mimpi itu, yang saya ingat
semua orang-orang di sekitar saya memakai pakaian berwarna putih, persis
pakaian ihram haji dan pakaian gamis panjang putih tapi tidak berkerudung.
Hanya saya, yang saya sadari berbeda dari orang-orang di sekitar saya, pakaian yang
saya kenakan, jeans dan kaos panjang. Entah, di mimpi itu saya juga hanya
memerhatikan sekitar dan aktivitas yang ibu saya lakukan. Menyiram bunga,
bersenda gurau dengan tetangganya, ya...saya ditinggal sendiri oleh ibu saya di
mimpi itu. Sampai ketika saya diajak ibu saya ke sebuah ruangan
besar berwarna putih dan lagi-lagi saya diisyaratkan untuk menunggu ibu saya saya.
Di ruangan itu ada sebuah piano ukurannya mungkin seperti grand piano, warnanya
lagi-lagi putih. Saya hanya celingak-celinguk. Anehnya, orang lain seperti
tidak melihat saya, atau saya yang tidak terlihat, tidak tahu, namanya juga
mimpi. Sekembalinya ibu saya, ternyata beliau didampingi oleh sesosok pria
(wajahnya tidak terlihat jelas, tapi saya tahu ia sesosok pria). Pria itu
berkacamata, berkulit putih susu, badannya tinggi besar (bongsor), dan
ia menggandeng tangan ibu saya. Di bagian mimpi inilah, satu-satunya waktu ibu
saya mengeluarkan suara kepada saya, yaitu “Ade tenang aja ya. Mama di sini
baik-baik aja. Ade harus mandiri dan sabar. Nanti, dia (maksudnya si pria di
mimpi ini) yang akan nemenin Ade. Ade jangan sedih, dia anak baik pasti sayang
sama Ade.” Dan, bagian mimpi selanjutnya, saya bermain piano bersama pria itu.
Tiba-tiba ruangan itu jadi sangat terang, dan orang-orang yang berpakaian putih
di sekitar saya juga hilang, termasuk ibu saya, habis itu saya terbangun. Begitulah
mimpi. Sampai sekarang saya masih suka berpikir maksud dari mimpi itu. Walaupun
mimpi adalah bunga tidur, tapi Allah Swt punya sekian banyak cara dan perantara
untuk hamba-Nya berpikir, bukan? Jadi, kadang saya masih penasaran makna dari
mimpi itu, hingga saat ini. Sangat jelas tiap-tiap gambaran di mimpi itu.
Sejak saya mengalami
mimpi itu, entahlah ada angin apa, saya jadi sangat semangat untuk belajar
menjadi seorang anak perempuan yang mau tahu urusan rumah. Belajar memasak,
mencuci baju, menyapu, mengepel, dan sedikit demi sedikit mengubah penampilan
saya lebih feminin dibandingkan sebelumnya, sekalipun kadang saya masih keluar
grasak-grusuknya. Tanpa saya sangka sendiri, saya berani menyalakan kompor,
saya bisa masak mie sendiri, bisa masak air sendiri, akhirnya bisa masak nasi
sendiri, dan saya mau kotor-kotoran membersihkan rumah. Tadinya mah
boro-boro... hehe... mencuci piring aja kalau tidak dipelototin dulu juga tidak
gerak. Akhirnya pun, saya bisa menyetrika baju sendiri dengan lipatan yang rapi
dan halus. Tadinya? Jangan ditanya deh hehe.. Ampuuun.. :) Kesemua hal itu saya dapat lakukan tanpa
diajari oleh orang yang lebih dewasa atau lebih berpengalaman. Setelah kejadian
mimpi itu, saya berpikir, saya berniat, saya hanya harus bisa menjaga ayah saya
dengan baik sepeninggal ibu saya, bagaimana pun caranya. Hanya itu. Di sisi
lain, dalam hati saya, keluhan-keluhan saya ke Allah Swt tentang mengapa Allah
Swt cepat sekali mengambil ibu saya, pada akhirnya luntur dengan sendirinya,
ketika saya sadar bahwa saya harus ikhlas. Harus ikhlas karena pada akhirnya
semuanya akan berpisah. Siapapun. Saya jadi sadar, yang mungkin mengalami
seperti ini bukan hanya saya saja, tapi banyak anak perempuan lain di luar sana
yang mengalami seperti ini. Mungkin lebih sulit dari saya. Hanya itu pikiran
saya kala itu.
Menerima bahwa saya
adalah salah satu anak perempuan di dunia ini yang pernah ditinggal oleh ibu
tercinta dalam keadaan super manja, dalam keadaan cenderung suka mengeluh, dan
perasaan khawatir tidak dapat melalui hari-hari selanjutnya di hidup saya.
Namun, nyatanya Allah Swt punya segala macam cara untuk membuka keikhlasan hati
hamba-Nya. Sejak saat itu, saya mulai memahami mengapa kita tidak boleh
berlebihan terhadap sesuatu, baik senang maupun sedih? Mengapa kita harus
mengalami pertemuan dan perpisahan? Mengapa kita harus mengalami sakit dan
sehat? Mengapa kita harus mengalami hidup dalam kesusahan dan hidup dalam
kecukupan harta? Mengapa kita harus mengalami pengkhianatan dan kesetiaan? Dan
semua hal yang berlawanan di dunia ini. Sebenarnya, karena Allah ingin kita
berusaha agar selalu ikhlas tanpa syarat. Ikhlas menerima bahwa segala yang
terlihat oleh mata kita, teraba oleh tangan kita, tercium oleh hidung kita,
terdengar oleh telinga kita, pasti akan berpisah dengan kita pada akhirnya.
Apapun cara-Nya kepada kita.
Begitu pula soal
percintaan. Dalam hal ini, saya tidak ingin bercerita banyak, karena dalam soal
ini, saya merasa hal ini di hidup saya masih tidak terlalu indah hehe sedih ya.
Beberapa kali saya dekat (dalam arti pacaran) dengan seorang pria, pasti ada
saja masa saya ditikung olehnya. Bahasanya apa ya yang enak? Hehe kalau
dikhianati sepertinya terlalu melankolis. Ya, intinya ketika saya sedang
pacaran dengan seseorang, tiba-tiba ada saja pria yang tipenya slonong-boy,
ketemu yang baru, langsung cusss pergi. Begitulah hidup hehe... Namun, saya
pernah ketika patah hati, saking kecewanya sampai lebay begitu sedihnya. Nah,
selama mengalami masa lebay itu, saya berpikir, “Kenapa saya jadi begini? Kenapa
mesti sedih juga? Saya bisa mandiri ketika Mama meninggal, kenapa saya nggak
bisa mandiri ketika si X pergi dari hari-hari saya? Toh si X pas saya sedih
mungkin dia lagi jalan-jalan sama si Y. Kok begini sih? Berarti ada yang nggak
beres sama pemikiran saya.” Lagi-lagi, saya berusaha keras untuk menerima
dengan ikhlas bahwa segala yang nyata di hidup saya pasti akan berakhir dengan
perpisahan. Lagi-lagi, saya belajar kembali mendalami apa itu ikhlas tanpa
syarat.
Hingga pada hari ini,
ketika saya mengalami patah hati, pengaruh dari belajar dan belajar tentang
ikhlas tanpa syarat itu sangat besar bagi saya pribadi. Contoh kecilnya, ketika
saya patah hati. Ketika saya menyukai seseorang tapi bertepuk sebelah tangan.
Ketika saya menyayangi seseorang, tapi orang itu menyayangi orang lain.
Teman-teman tahu? Saya uring-uringannya hanya satu hari loh. Memang sih di satu
hari itu segala pertanyaan berputar di kepala saya. Kenapa si X begini? Kok si
X begitu? Dan sebagainya. Ya satu hari yang penuh pertanyaan dan keluhan.
Namun, besoknya? Hati saya normal seperti sedia kala. Lagi-lagi, karena saya
menuntut diri saya sendiri untuk ikhlas akan segala hal, baik buruk yang
terjadi kepada saya hari ini dan hari esok. Lagi-lagi, karena saya menuntut
diri saya untuk paham bahwa pada akhirnya semuanya akan berpisah.
Teman-teman, Allah
Swt punya segala cara untuk membuat hamba-Nya menangis dan tertawa lagi.
Menangis mengapa dulu tertawa, dan tertawa mengapa dulu menangis. Saya juga
masih belum yakin apakah saya adalah orang yang ikhlas atau hanya sekedar
menerima tanpa kelapangan hati. Hanya saja, saya selalu bertekad untuk
mengingatkan diri saya sendiri akan kefanaan dunia. Mengingatkan diri saya
sendiri bahwa semuanya pasti akan berpisah.
Lalu
kenapa saya harus bersedih berlebihan? Lalu kenapa saya harus bergembira
berlebihan? Kenapa saya harus berlebihan, jika ikhlas tanpa syarat itu jauh
lebih baik pengaruhnya dalam hari-hari saya dibandingkan banjir air mata dan
ramai gelak tawa?
Wassalam,
Dhinar A. Fitriany
Jakarta, 18 Agustus 2014
1 comment:
bu dhinar saya handi dan saya sangat suka sekali dengan tulisan bu dhinar gak tau kenapa saya terharu sampai sampai meneteskan air mata karna membaca novel dari bu dhinar ini saya jadi teringat bunda dan seseorang yang saya cintai bu
i love you bu dhinar with all stories, you are the best
Post a Comment