Di atas jalanan beraspal yang
panas akibat terik matahari siang, langkah pemuda yang berkarung setumpuk botol
bekas di sisi Jalan Rawamangun Muka itu, sesekali dipercepat teriring jingkatan
kakinya. Yusuf, nama pemuda itu.
Harapan manusia sering kali
tak sejalan dengan kenyataan hidup. Yusuf, berwajah tak rupawan seperti Nabi
Yusuf Alaihi Salam, namun selalu ada lekukan senyum yang menambah guratan rasa
syukur dari wajah kusamnya.
Yusuf, sosok yang tak banyak
bicara. Setiap kali ia melintasi areal pemakaman di daerah Rawamangun Muka, ia
hanya sering kali berdiri mematung di depan gerbang pemakaman. Karung yang
berisi botol-botol bekas yang dipanggulnya sepanjang perjalanan, ia taruh di
sisi kakinya. Cukup beberapa menit saja ia mematung, dan tak lama ia menyapukan
telapak tangannya ke wajahnya dan berkata "Aamiin" dalam suara
lirihnya.
Pernah suatu ketika, ketika
ia selesai mematung di depan gerbang pemakaman, seorang pria paruh baya yang
memiliki kios tambal ban di dekat areal pemakaman itu bertanya kepada Yusuf.
Mengapa ia selalu rutin berdiri mematung di depan gerbang untuk beberapa menit.
Yusuf hanya menjawab dengan wajah menunduk. Katanya, "Aku mendoakan saudara-saudaraku
agar Tuhan mengampuni segala kekurangan diri mereka selama di dunia."
Pria paruh baya itu pun hanya
mengerutkan keningnya mendengar jawaban Yusuf, yang hanya seorang pencari botol
bekas - yang sering melintas di depan kios tambal bannya.
"Kau kenal dengan banyak
orang yang dikuburkan di tanah pemakaman ini?" kata pria paruh baya itu di
waktu lain kepada Yusuf.
Yusuf hanya menggeleng dan
menjawab singkat, "tidak", katanya. Yusuf malah berkata, di Jakarta
ia hanya hidup sendirian. Ia tidur di selasar mesjid atau musala yang ia temui
di jalan, jika rasa kantuk telah hinggap menempel di kedua matanya.
Sering kali pria paruh baya
itu memberikan Yusuf sebungkus nasi dengan lauk seadanya - berharap Yusuf
merasa kenyang setelah memakan nasi bungkus darinya. Yusuf tak pernah meminta.
Ia hanya menerima jika diberi. Sekali pun ditawari, Yusuf sering kali menolak.
Ia tak terlalu suka menceritakan kepada orang-orang yang dikenalnya bahwa ia
memang sering menahan lapar. Ia hanya suka bekerja terlebih dulu untuk
mendapatkan haknya.
* * *
Jumat pagi itu, udara di sekitar
Rawamangun Muka terasa sejuk. Belum terlalu banyak metromini melintas di
sepanjang jalan raya itu. Kendaraan beroda empat pun belum terlalu memenuhi
jalanan. Pagi itu, masih pukul empat dini hari. Kios-kios di sekitar Jalan
Rawamangun Muka belum banyak yang buka. Hanya beberapa saja, seperti warung
nasi Ceu Rina, dan kios tambal ban milik Bang Togar, pria paruh baya, yang bisa
dibilang sering mengobrol dengan Yusuf.
"Ceu, sudah ada lauk
apa?" tanya Bang Togar di pagi subuh itu kepada Ceu Rina yang masih sibuk
menggoreng tempe di sudut warung.
"Baru ayam, lele, sama
sop. Mau?" jawab Ceu Rina dari balik bilik tempatnya memasak.
"Iya, dua bungkus. Nasi
pakai lele saja. Tambah teh manis hangat diplastikin ya! Aku tunggu di luar
warung." kata Bang Togar sambil menaruh selembar uang lima puluh ribuan di
meja warung nasi milik Ceu Rina.
"Si Yusuf dua hari ini tidak
kelihatan. Ke mana dia? Pulang kampung? Jadi dua puluh ribu semuanya. Nih,
kembali tiga puluh ribu." tanya Ceu Rina sambil menyerahkan plastik hitam
berisi dua bungkus nasi pesanan Bang Togar.
"Aku juga tak tahu Yusuf
ke mana. Dia tak punya kampung. Entah, hati ini kenapa rasa rindu sekali
padanya. Padahal ia bukan siapa-siapaku. Kau tahu kan itu, Ceu? Awal kali
bertemu saja aku sedikit muak karena ku pikir ia sok jadi orang susah dengan
tampang wajah memelas khasnya." jawab Bang Togar serius.
Dalam keremangan di Jumat subuh
pagi itu, tiba-tiba mata Bang Togar dan Ceu Rina menangkap sesosok pria lusuh
yang berjalan ke arah mereka. Yusuf? Sepertinya bukan. Tapi ada karung yang
biasa dipanggulnya sehari-hari.
"Ah, kau siapa? Itu karung
botolnya Yusuf, kan?" tanya Bang Togar spontan ketika pria lusuh itu mulai
mendekat ke arah dirinya. "Ke mana si Yusuf?" tanyanya lagi.
Pria lusuh itu terdiam. Hanya
menatap sesaat mata Bang Togar dan berusaha menatap mata Ceu Rina yang seolah
menyiratkan pertanyaan yang sama seperti pertanyaan Bang Togar.
"Maaf, Pak. Aku tidak
tahu. Aku mau pergi cari botol bekas." Pria lusuh itu mencoba menerobos
Bang Togar dan Ceu Rina yang ada di hadapannya.
"Eh - eh... tunggu dulu
kata ku. Aku tadi tanya tentang Yusuf mengapa kau gugup sekali? Kau siapanya
Yusuf? Itu karung botol milik Yusuf, kan? Jawablah. Tak jawab, ku hajar kau
sekali tonjok mukamu bonyok." ancam Bang Togar tak sungguh-sungguh. Hanya
sekedar menghardik pria lusuh itu agar menjawab pertanyaannya.
"Yusuf...dua hari yang
lalu ditikam oleh preman, Pak. Preman itu melintas di depan halte tak jauh dari
tempat penyetoran botol bekas milik bos kami. Di daerah Rawasari. Yusuf sempat
dibawa ke Rumah Sakit Persahabatan. Yusuf kekurangan darah dan hari itu stock
darah yang sesuai dengan darah Yusuf tidak ada. Pendonor darah B yang memiliki
rhesus negatif tidak ditemukan. Yusuf...," ucap pria lusuh itu semakin
lirih dan tak lama kepalanya menengadah ke langit subuh pagi itu.
"Yusuf...sekarang sudah
tidak ada? Yusuf yang selalu mendoakan para manusia yang telah terkubur di
areal pemakaman itu, sudah tidak ada? Yusuf...," ucap Bang Togar tanpa
mampu menahan air matanya yang deras seperti hujan di Kamis malam kemarin yang
mengguyur Jalan Rawamangun Muka.
"Yusuf...Yusuf...Ceu
Rina teh rindu. Pantas dua hari ini saya ingin masak ikan lele terus. Lauk
kesukaannya...," Ceu Rina mencoba menahan air mata, namun ia juga tak
kuasa.
"Di mana ia dimakamkan?
Aku ingin ke sana. Kau antar aku sekarang." tanya Bang Togar pada pria
lusuh berkarung botol bekas milik almarhum Yusuf.
"Di areal pemakaman itu,
Pak. Hari Kamis pagi ia dimakamkan. Biaya pemakaman semua ditanggung oleh bos
kami. Yusuf orangnya baik dan tak banyak tingkah. Bos kami sangat percaya pada
Yusuf. Mobil jenazah yang lewat di depan kios tambal ban kemarin, itu mobil
jenazah yang membawa Yusuf. Sebelum meninggal, ia berpesan pada bos kami untuk
dimakamkan di areal pemakaman ini agar bisa bertetangga dengan orang-orang yang
ia doakan dulu. Dan...," ucapan pria lusuh itu tiba-tiba terputus.
"Dan apa katamu? Ayo
lanjutkan...," tanya Bang Togar penasaran.
"Dan, supaya Bapak dan
Ibu tetap dekat dengan Yusuf. Yusuf bilang padaku jangan beritahu Bang Togar
dan Ceu Rina jika ia meninggal nantinya. Aku hanya boleh memberitahu jika tak
sengaja melewati kios milik Bapak dan warung nasi milik Ibu. Aku tahu Bapak dan
Ibu adalah Bang Togar dan Ceu Rina. Aku tahu itu karena hanya Bapak dan Ibu
yang dekat dengannya di sekitar Jalan Rawamangun Muka ini." jawab pria
lusuh itu menuntaskan rasa penasaran Bang Togar.
* * *
"Yusuf, aku akan
meneruskan kebiasaanmu di depan gerbang pemakaman itu. Mendoakan orang-orang
yang telah terkubur di tanah itu. Mendoakan agar Tuhan menjadikanmu penghuni
surganya. Mendoakan agar orang-orang yang memanggul karung botol bekasmu, juga
membawa kedamaian surga dunia seperti wajahmu. Yusuf, aku tak bisa makan lele
bersamamu lagi. Tapi, aku janji akan meneruskan hal ini kepada temanmu yang
bersedia memanggul karung botol bekasmu. Meski bercak darahmu menjadi kenangan
di guratan benang-benang karungmu." ucap Bang Togar di sisi nisan
bertuliskan nama Yusuf bin Tohir.
Ceu Rina hanya mampu
menunduk. Doa-doanya untuk Yusuf ia hantarkan dalam hatinya. Langit cerah di
Jumat pagi itu mulai menyapa daerah Rawamangun Muka. Secerah senyum dari wajah
kusam Yusuf yang memberikan kedamaian bagi orang-orang yang mengenal dirinya.
Yusuf.
Sosok yang memperlihatkan
bahwa surga milik Tuhan sudah ada di dunia ini. Cahaya surga itu terpancar dari
wajah-wajah yang membawa keikhlasan untuk sesamanya. Cahaya surga itu terpancar
dari lekuk senyum wajah-wajah yang mendoakan akan kebaikan untuk sesamanya
meski tak saling mengenal.
Oleh :
Dhinar A. Fitriany
Jakarta, 28 Agustus 2015,
14:39 WIB
2 comments:
Bagus ceritanya. Apakah ini kisah nyata?
Wah...terima kasih Rachmat sudah membaca blog saya. Jadi terharu dibaca oleh mahasiswaku sendiri hehee. Ini cerita fiksi kok, dari imajinasi saya. Memang, saya sengaja mengambil latar tempat yang saya tahu betul seluk-beluknya agar saya bisa mengekspresikan isi cerita saya secara detil. :)
Post a Comment