Tuesday, August 23, 2011

MY LIFE


Ini bukan soal kisah seorang remaja yang orang dewasa sering katakan remaja sama dengan ‘ababil’. Dan, kadang kata tersebut sering terpajang dengan rapi di kaca-kaca angkutan umum. Oh, tidak! Aku pun juga bukan remaja ababil yang sering orang dewasa katakan itu. Karena, aku bukan seperti itu. Maaf kawan bila aku sedikit emosi mengatakan hal ini. Tapi, orang dewasa itu harus tahu bahwa tidak semua remaja yang masih bersekolah seperti aku, kamu, kalian, tidak semua ababil seperti yang mereka pikirkan. Bahkan, kurasa aku harus mengatakan bahwa orang dewasa pun tidak lebih ababil daripada remaja sepertiku bila bertemu dengan saingan mereka. Oh, itu lebih memalukan saat mereka harus berjambak-jambakan rambut merebut kekasih mereka di hadapan umum, saat mereka harus berdandan menor dengan segala make-up yang mereka punya untuk menarik perhatian rekan kantornya yang paling tampan di lantai mereka bekerja. Apalagi, saat mereka harus bergosip ria di ‘warung coffe’ berjam-jam hanya untuk membicarakan saingan mereka.

Aku? Kalian boleh memanggilku Hayley. Umm..sebenarnya, namaku terdengar sedikit aneh bila kuucapkan secara lengkap. Hayley Turkeyza Jordan. Dan, aku harus tegaskan kepada kalian bahwa aku bukan keturunan kesekian dari Michael Jordan, dan aku pun bukan orang berdarah Turki, lalu..aku pun juga bukan seorang blonde karena namaku Hayley. Bukan, aku asli Indonesia. Aku cinta Ibu Pertiwi. Bila kukatakan kepada kalian bagaimana kisah hidupku, aku rasa kalian akan berpikir aku adalah remaja perempuan yang akan kalian juluki sebagai ‘drama queen’. Ya, taka pa bila kalian berpikir seperti itu. Namun, itulah aku. Dan, aku akan menceritakan sejujurnya kisah hidupku selama di negeri ini. Negeri yang kucintai.

* * *

Lima tahun yang lalu …

Ibu menunjukkan sebuah kamar yang kurasa sedikit lebih kecil dibandingkan kamarku di saat masih tinggal di Irlandia. Itu kamarmu, Hayley… Begitu Ibu berkata saat itu. Aku menggangguk pelan sambil memandang seisi ruangan yang kata Ibu ini akan jadi kamarku. Benar-benar Indonesia! Aku senang sekali. Kenapa? Selama 13 tahun aku hidup di dunia ini (dan ini bukan berlebihan, kawan) aku baru melihat kawan bernuansa pedesaan seperti ini. Dinding kamar dilapisi keramik batu bata dengan penerangan dari lampu seperti obor di ujung ruangan. Lemari yang berdiri kokoh di sisi kanan ruangan adalah lemari kuno khas Jawa, terbuat dari kayu jati yang kuat. Lalu, tempat tidur bak putri keratin yang dilapisi kelambu transparan. WOW! Keren sekali. Kamarku dulu di Irlandia sangat jauh berbeda dari kamarku di sini. Meski di Irlandia, kamarku dipenuhi boneka dan cat warna pastel favoritku serta lengkap dengan Grand Piano transparan hadiah dari Paman Andrew di hari ulang tahunku yang ke-10, tetap saja kamarku yang sekarang jauh lebih bagus.

Aku berjalan dan mendudukkan badanku di ranjang putri keraton itu. Wow, empuk sekali! (Maaf kawan bila aku sedikit lebih norak di sini, tapi ini beda dengan spring bed di kamarku dulu). Dari mana Ibu mendapatkan semua ini. Barang-barang yang ingin sekali kulihat selama ini. Ibu sempat berkata di pesawat semalam bahwa rumah yang akan kami tempati nanti setibanya kami di Jakarta adalah rumah lama Pakde Djarot. Siapa itu sih Pakde Djarot, Bu? tanyaku saat itu sambil menguap-nguap akibat rasa kantukku terlalu menguasai diriku semalam di pesawat. Tanpa mendengar jelas jawaban Ibu, aku pun langsung terlelap. Blass.. Dan, saat terbangun aku sudah tiba di Bandara Soekarno Hatta.

Hari berlalu dari kekagumanku tentang kamar baruku di Jakarta itu. Dan, tibalah saat aku harus menjadi seorang siswa baru di sebuah sekolah yang aku menurut pandangan orang dewasa, itu sekolah bagus. Terima kasih Tuhan karena nilaiku ternyata dianggap bagus oleh kepala sekolah di sekolah itu sehingga aku bisa masuk dengan mudah tanpa tes. Apalagi ditambah kemampuan 3 bahasa asing yang kukuasai dengan fasih. Dan, aku bukan bermaksud sombong dengan hal ini. Itu semua terjadi karena aku lahir di luar tanah Ibu Pertiwi, sehingga sejak kecil aku sudah disuapi dengan bahasa kaum Celtic, British, dan Korea. Korea? Ya, ayahku adalah seorang pria Korea yang terlihat tampan dan awet muda meski umurnya sudah menginjak usia 40 tahun saat itu. Kadang, aku suka berpikir ayah lebih cocok jadi artis dibanding bekerja sebagai seorang editor bulletin anak di sebuah kantor majalah di pusat kota Irlandia itu. Yah, balik lagi ke kisahku, kawan.

Sudah seminggu aku sekolah, tapi aku masih merasa belum mendapatkan sahabat, meski teman-teman baruku ternyata sangat open kepadaku. Mereka tanpa aku komando langsung menyerbu untuk berkenalan denganku. Bahkan, ada yang langsung mengundangku ke pesta ulang tahunnya. Dan, lebih menarik lagi ada yang diam-diam mengajakku untuk menjadi pacar ketiga-nya! Aw, it’s awesome. Bagaimana caranya teman-teman baruku bisa langsung menganggapku sebagai anak perempuan yang tulus sedangkan mereka belum lama berbincang-bincang denganku di kamar selama berjam-jam seperti yang kulakukan bersama Cherris, sahabatku di Irlandia. Baiklah, jangan bahas Cherris kali ini, aku bisa menangis berjam-jam karena mengingatnya.

“Kamu pasti sudah punya pacar kan, Hayley?” kata seorang anak perempuan berponi yang saat itu menjadi teman sebangkuku. Aku menggeleng dengan senyum yang menurutku itu tersenyum paling aneh yang pernah kuberikan pada orang sebayaku. Anak itu tertawa lepas. “Kamu tidak percaya?” tanyaku heran. Dia menggeleng cepat. “Tidak! Kamu kan cantik, anak orang kaya lagi. Pasti banyak anak laki-laki dari sekolah yang keren berebut jadi pacarmu. Aku yakin sekali!” katanya dengan penuh semangat. “Aku bisa bermain piano dan aku sering tampil di acara kantor Ibuku…apa –“ belum sempat aku melanjutkan ucapanku, sekali lagi anak perempuan ini menepuk bahuku untuk yang ketiga kalinya. “Baiklah, berapa nomor handpdhone-mu? Soalnya Reshard mau kenalan sama kamu.” tanyanya dan siap dengan handphone terbaru yang sering kulihat di iklan televisi. Aku tercengang. Tak lama, aku menggeleng cepat. Anak perempuan dihadapanku saat itu, Dennis, kaget luar biasa.

“Kamu sombong sekali sih, Hayley! Masa ada cowok ganteng mau kenalan sama kamu, kamu jual mahal gitu.” Oh, Tuhan..jahat sekali ucapan Dennis padaku. “Maaf, aku bukan sombong, tapi aku memang tidak punya handphone.” kataku cepat. Sekali lagi, Dennis terperanjat. “Hah? kamu tidak punya handphone? Serius?”. Aku mengangguk. “Payah…kenapa tidak minta sama Ibumu atau Ayahmu? Kan mereka pasti mau membelikannya untuk kamu? Gajinya pasti besar, apalagi pernah lama bekerja di luar negeri, kan? ”. Aku terdiam dan singkat berpikir untuk menjawab pertanyaan Dennis yang menurutku tidak sopan. Menurutku. “Karena aku belum membutuhkannya. Kupikir aku lebih baik minta dibelikan ensiklopedia terbaru di toko buku, atau album foto yang lucu agar aku bisa menaruh fotoku bersama kalian nanti.” Dennis terdiam sejenak dan langsung tersenyum padaku. “Maaf, Hayley..Aku baru bertemu dengan gadis remaja yang dewasa sepertimu. Umm..baiklah aku jajan dulu yah! Dan, aku akan katakana pada Reshard bahwa kau adalah gadis cupu!”. Dennis pun berlari keluar kelas meninggalkanku. “Gadis cupu? maksudnya?” pikirku dalam hati.

* * *

Lima tahun kemudian…

“Hayley, tolong ambilkan bumbu nasi goring di rak sebelah sana sayang..” kata Ibu sore hari itu di sebuah pusat perbelanjaan. Di depan rak bumbu itu, bola mataku mencari di mana bumbu nasi goreng? Di mana bumbu… Dan, tiba-tiba aku kaget. Sungguh. Aku meliihat salah seorang teman SMP-ku dulu, Bara. Sedang apa Bara di supermarket ini? Kulihat dirinya sedang fokus mengatur setumpuk kornet sapi di rak yang ada di sampingku. “Bara?” tanyaku. Pemuda itu terperanjat. “Hah? Iya. Hayley, yah?”. Aku mengangguk cepat. “Apa kabar? Kamu… - ” belum sempat aku melanjutkan ucapanku, dia langsung tertawa. “Yah, beginilah aku, Hayley.” Ucapnya sambil menaikkan bahunya dan tersenyum sedikit kecut. Aku simpati padanya. Kuingat, Bara adalah juara umum saat di sekolah dulu. Dan, dia sering mendapat piala dari berbagai lomba mata pelajaran yang dia ikuti. Jujur, Bara adalah pemuda yang pertama kali menarik perhatianku meski si tampan Reshard yang ngebet denganku saat itu.

“Kamu kuliah di mana sekarang?” tanyaku.

Lagi, Bara tersenyum kecut. “Aku mengundurkan diri, Hay. Sebelum aku di DO karena belum melunasi bayaran kuliah, aku tahu diri. Dan, aku tidak mau menyusahkan Papi.” katanya dengan mata berkaca-kaca. Aku tahu dia sangat sedih saat itu. Dan, aku rasa dia begitu dewasa meski umurnya masih 18, bahkan sebagai mahasiswa di tahun pertama yang kurasa sifat ababil masih merajai anak seumuran kami saat itu. Aku tersenyum, bibirku kaku mendengar ucapannya. Prihatin sekali pemuda ini, bathinku. “Ah, sudahlah taka pa. Toh, aku menikmati pekerjaanku kok, Hay..Oh ya, daging segar sedang diskon akhir minggu ini, silakan pilih!” katanya tiba-tiba sumringah. Aku mengangguk cepat dan tertawa. “Aha, oke. Sore ini Ibu rencana akan membuat rawon untuk Ayahku.” Bara tertawa, “Tak kusangka pria Korea doyan rawon juga hahaha.. salam yah untuk Ibu dan Ayahmu. Tentu dari Bara Rahmadyanza, teman SMP-mu yang cupu itu, hahaha”. Aku menepuk bahunya, “Aku, kamu, cupu! Tapi kita tidak kemakan zaman, toh?”kataku riang. “YAP!” jawabnya cepat.

* * *

Malam itu, kulihat jam dinding kamarku sudah menunjukkan pukul 11 malam. Tumpukan kado di atas tempat tidurku masih berserakan. Kuhampiri sekali lagi dan kulihat hadiah dari seorang Bara. Sebuah mug bergambar fotoku saat SMP. Kreatif sekali dia. Lalu, hadiah dari siapa ini…Aku berusaha mencari kartu ucapannya. Dennis, teman sebangku saat kelas 7 SMP. Sebuah album foto cantik bergambar dua orang wanita memakai topi jerami di tengah taman bunga beserta banyak foto kecil kami saat masih SMP. Aku tersenyum. Dan, mulai kubaca surat darinya.

Dear Hay,

Selamat ulang tahun cantik! Kuharap kamu jangan marah karena kubilang cantik. Aku ingat saat kelas Olahraga Pak Tamam dan kita habis mengambil nilai basket, di saat aku dan yang lain keringatan dan kumel, kamu masih tetap cantik meski peluhmu ada di kening juga banyak. Dan, saat itu aku bilang, “Hayley si cupu tetap cantik, guys!” Saat itu teman-teman cowok, terutama si Reshard langsung heboh kan dan mengaku bahwa kamu sudah menerima dia jadi pacarmu? Itu sangat memalukan. Ababil. Sedangkan di sisi lain, mukamu merah padam, marah padaku sekaligus malu karena sikap anak cowok di kelas kita yang sangat centil itu. Kamu ingat, saat Ardhi mengajakmu kencan ke Dufan, dan dia bersusah payah mencari t-shirt yang keren supaya kamu bisa jatuh cinta padanya? Ahahah kalau aku ingat itu sungguh menggelikan. Niat sekali untuk ukuran anak SMP saat itu. Padahal, uang jajan saja masih minta Papa, kan? Dan, aku sungguh kaget saat tahu berita bahwa kamu masih tetap menolak mentah-mentah si tampan Reshard meski kamu sudah kelas 3 SMA saat itu? Wow, ga..ga..ga kuat sama playboy…hahahaha..Hayley, Hayley naluri wanitamu sungguh kuat, cantik! Sejak kecil kamu sudah berpikiran dewasa dan aku sungguh kaget akan hal itu. Belum pernah aku mempunyai teman terbaik sepertimu. Yang melihat isi dunia bukan dari luarnya saja, tapi dari dalam dan penuh kecermatan hati. Aku salut! Kamu adalah si gadis cupu terhebat yang pernah kulihat. Maaf bila aku masih tetap ingin memanggilmu dengan sebutan, Cantik. Kurasa kamu tidak keberatan dengan hal itu meski kamu sudah duduk di pelaminan nanti bersama pria pilihanmu, yang kuharap bukan Reshard hahaha. FYI, Reshard sekarang menjadi artis loh dan seperti dugaanmu, dia playboy! Kurasa kamu harus lihat di youtube dan melihat video Reshard si tampan pujaan remaja SMP kita dulu dikejar-kejar wartawan saat kepergok berciuman dengan gadis muda yang masih sekolah. Sungguh menggelikan. Umm..ada untungnya juga yah kamu cupu saat itu, Hay! Hehehe..Oh, ya sebelum kamu menuutu surat ini, doakan aku yah agar aku bisa lulus untuk mengikuti kelas model di Paris. Jika lulus, dua bulan lagi aku akan berangkat.

Love, Dennis

Sahabatmu

Aku tertawa-tawa setelah membaca isi surat Dennis. Oh Tuhan, terimakasih karena anugerahmu. Aku takkan pernah melupakan sahabatku, Dennis. Si Cewe Ter-Gaul di SMP dulu. Ya, gadis paling wah dengan segala aksesorisnya, gaul, dan dewi pemikat pria metroseksual di ibukota ini. Baiklah, Dennis…doaku selalu ada buatmu, sahabat! Semoga impianmu sejak SMP untuk menjadi supermodel akan tercapai.

Malam itu, setelah kubuka seluruh kado ulang tahunku yang ke 26 tahun, hadiah terakhir yang kubuka adalah sekotak merah berisi cincin dari Praya. Seorang pria yang bekerja sebagai dosen muda di sebuah universitas ternama di kota Canberra. Dia buka seorang Australians, dia asli Indonesia namun berdarah India. Aku sempat mengolok-ngolokknya saat pertama kali melihat dirinya sedang asyik duduk menikmati secangkir coffe panas di sebuah café. “Mirip Shah Rukh Khan..dan dia bukan tipeku. India, hitam, dan brewokan! Semoga suamiku tidak berwajah seperti dia. Bisa jadi Kajol aku selama hidup hahaha” kataku saat itu, tentunya bergosip ria di café bersama Benna, rekanku di kantor. Si gadis sosialita yang menor, namun hatinya sangat baik terhadap orang-orang kecil. Dan…ternyata, bila kuingat sekali lagi saat itu, untuk pertama kalinya aku menjadi ababil ya pada saat aku mulai mengenal uang dan pria mapan. Kurasa saat itu aku melebihi labilnya anak SMA zaman sekarang. Mengolok-ngolok mahkluk Tuhan yang ternyata, lusa akan menjadi pendamping hidupku. Mungkin bila hal itu aku ceritakan pada Dennis, pasti dia akan tertawa dan akan berkata, “Oh, Hayley..kamu tidak lebih cupu daripada abg labil di sekitarmu hehehe…”

No comments: