Malam ini adalah kejutan besar bagiku sejak aku menginjakkan kakiku di Berlin, Jerman, dua hari yang lalu. Dad mengatakan bahwa dirinya telah membeli tiga karcis orchestra! Wow, ini sangat mengagumkan! Namun, sangat disayangkan Mom ternyata tidak bisa datang bersama aku dan Dad melihat orchestra itu. Baiklah, itu cukup menyedihkan untukku, namun Mom meyakinkan diriku bahwa dengan mengajak Charlotte, sepupuku, sebagai pengganti Mom, pasti diriku akan senang kembali. Ok, kuharap begitu Mom. Karena, aku tidak begitu cocok dengan Charlotte si keponakan tercinta Dad yang selalu disanjung-sanjung oleh Grandma karena kecantikannya. Tak ayal, diriku sering dibandingkan dengannya oleh Grandma. Kejam. Ya, Grandma kurasa lebih sayang pada Charlotte karena dia lebih anggun dibanding diriku yang tomboy ini. Tak apa. Aku tak marah.
Esoknya, aku sudah siap dengan kaus lengan panjang kesayanganku yang bergambar kunci G dan purple jeans Nevada hadiah dari Mom saat aku meraih gelar sebagai siswa teladan di college-ku. “ Kau yakin tampil seperti itu, Nourah?” tanya Grandma. “Lihat, Charlotte cantik sekali dengan white dress-nya. Seperti putri…” ucapnya lagi. Aku hanya bisa menghela nafas. Dan, kulihat wajah Dad tersenyum tipis. Kurasa dia kasihan terhadapku atas ucapan ibu mertuanya yang menurutku sangat bawel itu. “Tak apa, Mom. Kurasa penonton konser tidak terlalu dipedulikan oleh para violinist di atas panggung nanti. Apapun pakaian mereka..” Dad berusaha mencairkan suasana. Grandma tersenyum kecut. Meski Charlotte baik kepadaku, namun aku sangat kesal kepadanya. Melihat wajahnya saja aku malas. Charlotte tahu aku kesal padanya dan dia selalu berusaha untuk memahami aku atas ulah Grandma.
“Baiklah, malam ini kita akan bersenang-senang, wanita-wanita cantikku!” Dad tertawa dan segera melajukan mobil meluncur ke pusat kota Berlin. Aku tertawa dan kulihat dari kaca spion Charlotte hanya tersenyum. Kurasa dia tidak enak hati padaku. Haha biarlah. Rasakan.
Sekitar tiga puluh menit, mobil Dad pun akhirnya tiba di sebuah pelataran asri yang terang karena lampu-lampu taman yang berdiri tenang menyinarkan cahayanya di malam special ini bagiku. “Kalian tunggu aku di lobby, aku akan mencari parkir. Ok!” Dad berkata kepadaku dan Charlotte. “Yap, Dad!”. Aku dan Charlotte sedikit terpana dengan sebuah gedung tua yang sangat besar di hadapan kami. Sebuah aula simphoni berdiri megah mala mini. Dan, khusus bagiku, malam ini adalah malam pertama aku menonton sebuah orchestra yang aku idam-idam sejak aku di elementary school. Entah kenapa di New South Wales aku jarang menemukan hal seperti ini. Beruntung juga aku berlibur ke rumah Grandma yang bawel di Berlin ini. Hmm..
“Siap?” tiba-tiba Dad muncul di belakang aku dan Charlotte. Meringis kecil ketika dirinya melihat orang-orang yang hadir di orchestra malam ini. “Kurasa Grandma kali ini benar, Sayang, lihatlah…” katanya padaku dengan bola mata berputar ke segala penjuru melihat penampilan orang-orang yang hadir. Aku pun tersenyum malu dan melihat penampilanku dan Charlotte.
“Ya, kurasa begitu, Dad. Charlotte menang untuk malam ini….semuanya seperti datang ke pesta kerajaan…” Aku tersipu malu karena sudah mencemooh Charlotte dalam hati karena penampilan terlalu menawan.
“Ya, pertunjukkan orchestra classic mungkin bisa menjadi ajang untuk tampil seperti pangeran dan putri kerajaan dalam satu malam..tak apa, kau tetap cantik dengan kaus favoritmu, Nourah!” Charlotte tersenyum. Kurasa itu senyum tulusnya untukku. Sedangkan, dalam hati sebenarnya aku sangat gondok padanya. KENAPA TIDAK BILANG SEJAK SORE TADI TENTANG HAL INI, CHARLOTTE JAMES??? Kurasa kau senang melihat penampilanku seperti angsa buruk rupa. Hah. Menyebalkan.
Dad menghela nafas. “Masuk..berikan tiketmu pada petugas di pintu masuk, Oke?”. Aku mengangguk. Dad mengatakan orchestra malam ini akan menampilkan seorang violinist ternama dari Indonesia yang sudah lama di German bernama Iskandar Widjaja. Indonesia. Hebat sekali. Negara tetanggaku itu memiliki aset bangsa yang sangat mengagumkan. Aku pun juga pernah berkenalan denga seorang stranger yang mengaku dari Indonesia. Anaknya cukup baik dan ramah, namun mereka mungkin agak hati-hati dengan orang asing dari negara lain. Sama sepertiku. Berbicara seperlunya dengan stranger asal Indonesia itu. Baiklah, Dad siapakah violinist dari Indonesia yang akan tampil malam ini? Iskandar Widjaja. Oh, bagiku sedikit susah untuk melafalkan namanya. Dan, menurutku belajar Bahasa Indonesia-pun juga susah. Buktinya, saat kelas Bahasa Indonesia di sekolah, aku selalu meminta bantuan Sarah, teman sekelasku yang memang berasal dari Indonesia. Dia jago sekali. Jelas, orang Indonesia asli.
Bangku-bangku untuk para pemusik di hadapanku sudah berjejer rapi. Dan, lampu yang sangat terang menyorot bagian tengah panggung. Mengagumkan sekali, bathinku. Charlotte rupanya sedikit lebih anggun dariku dan terlihat tenang menunggu mulainya orchestra ini. Hah, mungkin dia sedang mencari perhatian para lelaki muda yang datang dan berharap ada banyak ingin berkenalan dengannya. Gadis centil, kurasa. Sudah terlihat dari cara dia berpakaian. Selalu memajang belahan dadanya. Oh, tidak. Itu sangat menggelikan. Apa semua anak di universitasnya seperti itu? Saat aku ke Bali bersama Dad dua tahun yang lalu, banyak blonde yang hanya ber-swim suit melenggang di pinggir jalan. Oh, jangan memalukan sesama-mu, hai blonde! Pikirku.
“Lihat, apa kau tahu nama alat music yang mirip biola itu?” tanya Charlotte tiba-tiba padaku. “Yang besar..yang dibawa oleh wanita berkepang itu..”. Aku mencari wanita yang dimaksud Charlotte. Mana? Oh, itu dia! Hmm…Apa ya? Charlotte benar-benar kejam sudah tahu aku tidak mengerti tentang musik. Aku tahu yang namanya violin, tapi yang itu apa ya? Violin juga? Tapi kenapa wanita itu meletakkan posisi alat itu di depan kakinya? Ah, Charlotte kau sengaja ingin mempermalukanku, ya? bathinku. “Baiklah, aku sebenarnya tahu nama alat music itu, tapi untuk malam ini aku lupa.” kataku sedikit ketus. Charlotte tersenyum, “Itu Cello namanya. Dan, aku belajar itu di universitas.” katanya tenang. Hah? Apa? Maksudnya? Charlotte seorang celloist? Oh, tidak mungkin. Wanita kejam seeprti dia bagaimana mungkin bisa lembut apalagi saat memainkan cello!
Namun, tiba-tiba lampu padam. Blass..dan di tengah panggung tiba-tiba sudah muncul seorang pemuda berambut keriting dan berkulit putih langsat khas orang Asia. Apa ini yang namanya Iskandar Widjaja?. Kulihat dalam keremangan, Charlotte dan Dad benar-benar fokus dengan sosok yang hadir di hadapannya. Kulihat ke sekelilingku. Sama. Wow, pesona Iskandar Widjaja benar-benar mengagumkan. Dirinya bisa menarik perhatian ratusan orang di hadapannya, kecuali aku. Oh, menyedihkan. Sepanjang hidupku aku sering menonton konser rock bersama Travis, Mike, dan Lee si pria dari negeri tembok raksasa di New South Wales. Sahabatku laki-laki. Mungkin, karena aku terlalu sangar, kurasa, teman-teman perempuan di college malas mendekatiku. Belum mendekat, mata elangku sudah siap menatap mereka. Apalagi dengan anak perempuan yang sudah memakai heels 10 cm. Sungguh! Itu kiamat bagiku.
Kembali, kunikmati music classic Beethoven Violin Concerto 1st yang dimainkan oleh Iskandar Widjaja bersama para pemusik lainnya di panggung. Ah, tidak. Aku belum mendapat feel sama sekali dari music seperti ini. Oh, Tuhan..aku harus bagaimana? Aku mendambakan pertunjukkan seperti ini, tapi aku tidak mengerti apa yang sedang kudengar malam ini. Ini benar-benar membuatku sangat mengantuk.
“Charlotte…aku bosan…” bisikku pada Charlotte. Charlotte sedikit terkejut dengan bisikkanku.
“Kenapa? Ini sangat mengagumkan, Sayang…” katanya berusaha meyakinkanku. “Apa kau mau ke toilet? Kurasa kau butuh mencuci mukamu agar tidak mengantuk. Mau kuantar?”. Aku mengangguk pelan. “Jalan menunduk ya, Nourah sampai ke ujung kursi itu.” Katanya sekali lagi.
“Hoahmm…tak kusangka aku begitu terhipnotis dengan Iskandar Widjaja. Musiknya membuatku mengantuk. Beda dengan Ramones. Huh..” kataku sambil membasuh wajahku dengan air. Kudengar Charlotte tertawa.
“Tentu saja beda, Nourah! Beethoven dan Ramones adalah pemusik yang berjalan di jalurnya masing-masing. Kurasa bila aku menonton video Ramones-pun aku lebih baik mencari potato dan susu serta sosis sebagai alat penyadarku dari pingsan yang cukup lama hahaha…” Charlotte kulihat sedikit berkawan denganku malam ini. Benar juga kata-katanya. “Musik adalah cerminan diri pendengarnya…” katanya tenang.
WHAT? Cerminan diri pendengarnya? Maksudnya? Dia menyidirku lagi. Padahal kurasa dia sudah berkawan denganku. Hah, menyebalkan! “Maaf, bukan maksudku untuk menyinggungmu, Nourah. Tapi, kurasa kau paham dengan ucapanku. Karena music favoritmu adalah jenis music Rock, penampilanmu terlihat lebih keren dariku. Kau suka memakai jaket kulit, dan suka memakai kaca mata hitam saat kau pergi belanja bersama Mom. Aku? Aku tidak bisa sepertimu. Penampilan seperti ini karena sejak kecil aku sudah mengenal music classic dan aku dituntut agar berpenampilan anggun apalagi saat aku memainkan cello.” Charlotte menatapku dari kaca wastafel. Aku menunduk mendengar perkataannya. Kurasa untuk kesekian kalian Charlotte benar.
“Kau gadis yang cantik. Tapi, kau akan lebih cantik jika kau berpenampilan seperti anak gadis lainnya di sekolahmu, Nourah. Grandma sering bilang bahwa dia ingin sekali kau memakai gaun yang dijahitnya saat wedding party Paman Gabriel minggu depan.” Mendengar ucapan Charlotte tentang harapan Grandma aku makin tertunduk malu. Tak kusangka dugaanku tentang Grandma selama ini salah besar. Ia sungguh memperhatikanku. Namun, karena Grandma dan Mom besar di keluarga militer cara bicaranya lebih terang-terangan dibandingkan dengan Dad yang besar di keluarga psikolog. Dad lebih mengerti perasaanku.
“Jadi, itu yang Grandma inginkan dariku, Charlotte?” tanyaku pelan. Aku sedih sekali. Charlotte mengangguk.
“Tapi, aku tidak mau mengenakan bikini saat renang…seperti yang sering dilakukan oleh Fergie dan Renata si gadis latin itu.” Aku menunduk lagi. Charlotte memandangku dalam-dalam. “Cantik itu bukan dilihat dari seberapa dirimu seksi dan menarik perhatian para pria di kolam renang, Nourah..”. “Kalau kau pikir gaunku ini seksi bagimu, kurasa ini gaun yang paling sopan untuk datang ke acara seperti ini. Sungguh memalukan jika aku mengenakan gaun dengan belahan dada yang berlebihan dan belahan yang memperlihatkan pahaku ini. Benar, kan?” katanya. Aku merasa Charlotte bijak sekali di sini.
“Aku tidak suka perempuan berbikini, aku tidak suka perempuan seksi, dan aku tidak suka memakai heels, Charlotte…”. Charlotte mendekapku. “Tapi, waktu kau besar nanti saat kau akan menikah, kau wajib berlatih berjalan dengan heels untuk wedding party-mu hahaha..ok? Bayangkan jika kau sudah anggun dengan gaun pengantinmu tapi alas kakimu adalah Nike favoritmu itu. Kurasa Dad akan panas dingin melihatnya. Dan, tak ayal kalau tiba-tiba Grandma terkena serangan jantung. Mengerikan, bukan?”
“Lalu, Mom?” tanyaku pelan. Charlotte tertawa. “Kurasa Mom akan pingsan selama dua bulan jika melihatmu seperti itu.”
“Kau berlebihan…” ucapku dengan wajah paling innocent-ku.
“Aku hanya mengatakan apa yang akan terjadi bila kau tetap berpenampilan seperti Travis, Mike, dan siapa…?” katanya tegas. “Lee…” balasku. “Ya, dia…”
Aku kembali menuju ruang konser berlangsung. Di sepanjang acara aku benar-benar memikirkan ucapan Charlotte. Dia benar. Bagaimana aku mau menarik perhatian William bila saat datang ke acara ulang tahunnya aku memakai celana kulit, jaket kulit, dan rantai seperti rantai anjing milik Paman Steve?
Terimakasih Charlotte…kurasa kali ini aku harus bersyukur karena memiliki sepupu yang baik dan bijak sepertimu. Kau cantik, kau hebat, kau seorang celloist, dan kau pujaan hati si bintang film muda itu, Kevin Parley. Aku harus belajar padamu, Cantik..
Oh, ya aku lupa, Charlotte…”Perempuan feminim tidak dilarang untuk menyukai rock, kan?” bisikku di akhir orchestra pada Charlotte. Dia tertawa dan menggeleng cepat. “Musik itu universal, Beauty…kau bebas menyukai jenis apapun. Karena, setiap music mempunyai pesan tersendiri untuk penikmatnya…”
Aku tersenyum dan kembali berusaha menikmati alunan dari tiap gesekan violin Iskandar Widjaja, violinist asal Indonesia yang menurutku dirinya sangat hebat!
*cerita ini saya buat karena terinspirasi dari penampilan Iskandar Widjaja, violinist Indonesia yang super!
No comments:
Post a Comment