Duhai
urusan perasaan. Ketika seseorang berhenti menangis karenanya, maka beberapa
saat kemudian, tentu saja airmatanya akan kering di pipi, isaknya akan hilang
disenyap, seperti tidak ada lagi sisa tangisnya di wajah. Tetapi tangisan itu
tetap tertinggal di hati.
Kesedihan
rasa sakit, kesendirian, beban yang membekas.
Boleh
jadi sebentar, boleh jadi selamanya.
Bukankah
demikian?
-- Darwis Tere Liye

“Alasan apa darimu jika menurut jalan
pikiranmu sesuatu yang jauh dari logika tidak patut kamu pentingkan dalam
hidupmu, padahal itu berkaitan dengan hati seseorang?”
Sejujurnya, seringkali di kepala saya
berputar-putar pertanyaan jika memikirkan hal ini. Mengapa di dunia ini masih
tersisa orang-orang yang hanya menjunjung tinggi logika tanpa menyeimbangkan
diri dengan perasaan? Apakah bagi mereka perasaan hanyalah perasaan yang tidak
perlu dipentingkan? Apakah bagi mereka perasaan hanyalah sebuah rasa yang harus
segera dikesampingkan dari logika?
Bapak saya mempunyai pesan yang sangat
bermakna sekali artinya untuk hidup saya, begini pesannya:
“Jika kita belum bisa membahagiakan orang
yang kita cintai dengan materi, maka bahagiakan orang yang kita cintai itu
dengan sikap dan tutur kata kita yang dapat menenangkan hatinya. Cukup itu
saja. Karena, ketenangan bathin itulah sebenarnya yang membuat hidup orang
bahagia.”
Bagi saya, menghargai perasaan orang itu
adalah hal penting dalam hidup. Saya juga bukan orang yang tidak luput dari
khilaf. Tetapi, di saat saya khilaf saya selalu berusaha untuk segera menyadari
apa kesalahan saya kepada orang lain. Saya hanya sangat takut bila orang lain
ternyata terluka dengan perkataan saya di luar kesadaran saya bila saya emosi.
Saya hanya takut bila orang lain terluka dengan candaan saya yang di luar batas
kelucuan bagi orang lain.
Saya menulis postingan ini karena ada hal yang
mendorong saya untuk mengungkapkan apa yang saya rasakan selama ini karena ‘seorang’
di sana. Saya pikir, segala kejujuran perasaan saya karenanya saat ini sudah
tidak bisa membuat dirinya mengaku dan merendah atas apa yang telah
dilakukannya selama ini kepada saya. Saya juga tidak berhak dan tidak akan bisa
mengubah sifat orang lain. Seburuk apapun perlakuan orang lain kepada saya, itu
hak mereka. Saya hanya berusaha untuk belajar menjadi pribadi yang baik sebagai
seorang perempuan sebagaimana yang diajarkan ibu saya selama ini.
Saya memang keras dan tegas terhadap diri saya
sendiri. Saya punya prinsip, jika dengan adanya saya ternyata tidak membuat
orang yang saya sayangi, siapapun itu, bahagia, bagi saya menjadi asing untuk
mereka adalah hal yang terbaik. Sesungguhnya, selama 21 tahun menyusuri tiap
tapak yang ada di dunia ini, untuk pertama kalinya, saat ini saya merasa sangat
tidak dihargai oleh seorang yang pernah saya sayangi. Sebenarnya, ini bukan hal
yang patut dibagi menjadi sebuah rangkaian huruf yang tertata rapi di dalam
blog saya. Saya tahu ini, dan saya juga akan tetap menjaga perasaan ‘seorang’
itu jika suatu waktu ternyata dia membaca tulisan saya ini.
Sebagai seorang manusia yang pada kalanya bisa
emosi, sedih, dan nelangsa, saya pun mengakui bahwa saya mungkin juga sering
menyakiti perasaan orang lain, sadar atau tidak sadar dalam diri saya. Namun,
sebisa mungkin, saya berusaha untuk menyadari itu dan mengaku. Bagi saya,
mengaku akan kesalahan bukanlah hal yang buruk di dunia ini. Seperti yang
dikatakan Om Tere Liye lewat tulisannya,
Kesedihan
rasa sakit, kesendirian, beban yang membekas.
Boleh
jadi sebentar, boleh jadi selamanya.
Bukankah
demikian?
Saya tidak tahu sedalam apa perasaan orang
lain. Kamu, mereka pun juga tidak tahu sedalam apa perasaan saya selama ini.
Sangat tidak patut bagi saya jika saya tidak menyadari perlakuan saya yang
mungkin kurang menyenangkan hati orang lain. Begitu pun juga dengan ‘seorang’
di sana.
Saya hanya berharap, kepada orang-orang yang
terlalu mengedepankan logika dibanding perasaan, suatu hari nanti bisa lebih
peka dengan suara-suara tangis hati orang lain. Di dunia ini, logika dan
perasaan manusia memang tidak ada garis yang dapat menyatukan kedua hal itu. Logika
atas pikiran, dan perasaan atas hati nurani. Itulah mengapa Tuhan menciptakan manusia
dengan melengkapi dua bagian, otak dan hati nurani.
Mungkin tangisan bisa saja dengan hitungan
menit dapat terhapus, tapi jangan pernah tanyakan apakah kesedihan bisa
langsung pergi dalam hitungan menit juga. Di dunia ini, tak ada satupun manusia
yang bisa dengan mudah jujur atas kesedihannya, beban yang mendalam dalam
hatinya, dan kenangan pahit yang selalu berputar dalam pikirannya.
Untukmu ‘seorang’ di sana, saya hanya berharap
kamu bisa lebih dewasa sesuai dengan usiamu saat ini. Kedewasaan bukan hanya
terpatok dari kepekaan dalam logikamu saja, tapi juga perasaan.
Jika
kamu bisa berakrab hati dengan orang lain yang baru saja hadir dalam hidupmu
saat ini, kenapa kamu bisa dengan mudah ‘melupakan’ orang yang sudah lama
menemani kamu dalam hari-harimu susah dan senang?
Jika
hari ini kamu sudah memiliki apa yang kamu dambakan sedari dulu, kenapa kamu
bisa dengan mudah menganggap sesuatu ketulusan yang telah diberikan orang yang
sudah lama menemani kamu itu hanya sebagai sebuah hal sepele yang tidak harus
kamu pentingkan hari ini?
Jika
kamu bisa memberitahu dunia apa yang kamu dapatkan dari teman barumu hari ini
sebagai sebuah kepedulian, lantas mengapa kemarin kamu tidak melakukan hal yang
sama atas apa yang telah diberikan orang yang telah lama menemanimu hanya untuk
sedikit membuat usahanya khusus untuk kamu terasa berkesan?
Jika
kamu hari ini bisa mengatakan bahwa hal baru yang diberikan oleh orang-orang baru
di sekitarmu adalah sebuah kesan yang berharga, mengapa kamu tidak melakukan
hal sama kemarin kepada orang yang telah lama menemani kamu di saat kamu masih
merasa sendirian di dunia ini?
Jika di
atas alam liar kamu bisa peduli sekali dengan orang baru dalam hidupmu, mengapa
di atas ketulusan yang sungguh-sungguh diberikan seorang lamamu, kamu tidak
bisa peduli seperti halnya di alam liar? Dan sangat tidak bisa diterima oleh
perasaan jika kamu hanya bisa berkata “Mengapa kepedulian di alam liar terlalu
dipertanyakan?” Sesungguhnya, ini bukan soal pertanyaan, akan tetapi ini sebuah
keegoisan yang terlihat halus untuk seorang lamamu yang telah menemanimu selama
kamu merasa kesepian kemarin.
Jika
kamu hari ini sudah bisa bercanda yang mungkin bagimu dan orang-orang barumu
itu sungguh sebuah lelucon, sebenarnya tidak semua orang sepemikiran denganmu.
Apakah pernah kamu berpikir bagaimana perasaan orang yang kamu lontarkan
lelucon tersebut?
“Sesungguhnya perempuan mampu menyembunyikan
cinta selama 40 tahun, namun tak sanggup menyembunyikan kebencian walaupun
hanya sesaat.”
-Darwis Tere Liye-
“Nak, perasaan itu tidak sesederhana satu
tambah satu sama dengan dua. Bahkan ketika perasaan itu sudah jelas bagai
bintang di langit, gemerlap indah tak terkira, tetap saja dia bukan rumus
matematika. Perasaan adalah perasaan, meski secuil, walau setitik hitam di
tengah lapangan putih luas, dia bisa membuat seluruh tubuh jadi sakit,
kehilangan selera makan, kehilangan semangat. Hebat sekali benda bernama
perasaan itu"
- Darwis Tere Liye, novel 'Kau, Aku & amp; Sepucuk Angpau Merah’ –
- Darwis Tere Liye, novel 'Kau, Aku & amp; Sepucuk Angpau Merah’ –
Saya hanya berharap untuk ‘seorang’ yang
mungkin akan membaca tulisan saya ini suatu saat nanti, entah kapan, semoga
kamu bisa menjadi orang yang jauh lebih baik dari kemarin dan saat ini, jika
suatu hari nanti kita bertemu kembali, sengaja atau tidak sengaja pada
waktunya. Saya pikir, menghargai perasaan orang tidak cukup dengan sebuah kata
terimakasih saja. Jika menyayangi seseorang, tentunya sudah menjadi kewajiban
kita untuk menjaga apapun yang telah diberikannya kepada kita, meskipun itu
terlihat sepele. Karena, jika kita tahu, kebahagiaan dan kebencian itu justru berasal
dari hal yang sepele di mata kita sebagai manusia.
Untukmu ‘seorang’ di sana, sampai bertemu
kembali di saat waktu pun mengizinkan kita untuk bertemu kembali. Sangat
mengesankan dapat menemanimu kemarin..
No comments:
Post a Comment