Thursday, June 4, 2015

ANAK MUDA, SEORANG GURU?



 Guru;
“Sosok sederhana bermodalkan ilmu dan hati nurani
yang melahirkan insan-insan besar
pembawa inspirasi bagi dunia.”
(Dhinar A. Fitriany)

Tulisan sederhana ini saya buat teruntuk teman-teman seperjuangan saya dan juga para pemudi-pemuda di negeri ini, yang mana pada hari ini mengabdikan dirinya di lingkungan masyarakat, sebagai seorang guru.

Menjadi seorang guru, mungkin bukanlah cita-cita yang terlalu sering terdengar di telinga kita. Tapi, bukan berarti tidak ada generasi muda yang tidak tertarik untuk menantang dirinya sebagai seorang guru. Sekalipun, hari ini saya bukanlah seorang guru dan saya tumbuh bukan dalam lingkungan keluarga guru, tetapi saya sangat mengagumi dan menghargai seseorang yang dipanggil ‘Pak Guru’ dan ‘Ibu Guru’.

Saya teringat pada pertanyaan seseorang yang dahulu pernah mempertanyakan mengapa saya memilih jurusan kuliah di bidang pendidikan? Lebih tepatnya, “Mengambil jurusan kuliah di bidang pendidikan, memangnya kamu punya bakat mengajar?”. Dulu, saya hanya menjawab sekenanya saja karena saya pikir pertanyaan yang mempertanyakan bakat seseorang, saya rasa cenderung pertanyaan subjektif dan kalaupun saya jawab dengan kalimat yang meyakinkan, tetap saja merupakan jawaban dari seorang anak perempuan yang baru lulus SMA dan memilih jurusan kuliah yang mana dari penginderaan orang lain tidak sesuai dengan karakter si pemilih jurusan kuliah, saat itu.

Namun, hari ini saya tahu apa jawaban yang mampu menyelesaikan pertanyaan:
 “Mengambil jurusan kuliah di bidang pendidikan, memangnya kamu punya bakat mengajar?”.

Mengajar bukanlah persoalan bakat seseorang. Siapa pun orang bisa mengajari orang lain. Akan tetapi, tidak semua orang tertarik untuk mengeyam pendidikan yang mana notabenenya pendidikan tersebut akan membentuk dirinya sungguh-sungguh menjadi seorang pengajar profesional. Ketika di luar sana bakat mengajar seseorang dipertanyakan, pun saya hanya bisa menjawab bahwa mengajar merupakan perihal keberkenanan hati seseorang untuk membantu orang lain dengan cara, berbagi ilmu, wawasan, pengetahuan, dan pengalaman. Adapun ketika bakat mengajar seseorang dipertanyakan, jawabannya ialah sekalipun seseorang belum terlalu berbakat dalam mengajar, niat baik orang tersebut niscaya akan menggiring dirinya menjadi seorang pengajar yang profesional, kelak di hari-hari selanjutnya.

Pertanyaan pertama, “Adakah hari ini orang-orang yang berkenan hatinya untuk membantu orang lain dengan cara, berbagi ilmu, wawasan, pengetahuan, dan pengalaman, di sekitar kita?” Jawabannya, ada, dan mereka yang kita sebut Pak Guru dan Ibu Guru di sekolah.

Pertanyaan kedua, “Adakah hari ini di antara orang-orang tersebut dari para pemuda yang berkenan hatinya menjadi seorang guru?”. Jawabannya, ada, dan mereka yang bersedia mengisi masa mudanya untuk menjadi bagian hidup orang lain dalam mencapai keberhasilannya.

Pertanyaan ketiga, “Apa yang mampu memotivasi para pemuda untuk memiliki pemikiran positif bahwa menjadi seorang guru merupakan pengalaman hidup yang menyenangkan?”. Jawabannya, ialah hatinya sendiri. Oleh karena, menjadi seorang guru tidak cukup berbekal pada ilmu sewaktu masa pendidikan guru saja, namun hal utama yang harus dimiliki ialah keberkenanan hati untuk menjadi seorang guru.

Perihal keberkenanan hati para pemuda untuk menjadi seorang guru akan diikatkan dengan tanggung jawabnya kelak ketika menjadi seorang guru. Di mana, tanggung jawab seorang guru secara langsung berkaitan dengan kode etik guru di Indonesia. Berdasarkan pada penjelasan Soetjipto dan Kosasi dapat diintisarikan bahwa sama seperti profesi lainnya, Kode Etik Guru Indonesia ditetapkan dalam suatu kongres yang dihadiri oleh seluruh utusan Cabang dan Pengurus Daerah PGRI dari seluruh penjuru tanah air, pertama dalam Kongres XIII di Jakarta tahun 1973, dan kemudian disempurnakan dalam kongres PGRI XVI tahun 1989 di Jakarta.[1]
           
Para pemuda yang terpanggil untuk menunaikan niat hatinya menjadi seorang guru, harus menjalankan tugasnya sesuai dengan dasar-dasar dalam Kode Etik Guru Indonesia, yang mencakup:
1.      Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila.
2.      Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional.
3.      Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.
4.      Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar.
5.      Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
6.      Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan profesinya.
7.      Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial.
8.      Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian.
9.      Guru melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan.[2]

Adanya Kode Etik Guru Indonesia tersebut, akan menjadi panduan bagi para pemuda yang berprofesi sebagai guru. Tentunya, adanya Kode Etik Guru Indonesia tersebut, diharapkan mampu menjadi dasar-dasar para guru secara personal untuk menilai sejauh mana perkembangan dirinya sebagai seorang pendidik di lingkungan sekolahnya dan masyarakat dalam lingkup yang lebih luas.

Hari ini dengan segala kenyataan yang terjadi di lingkungan, profesi guru pun masih menjadi sorotan masyarakat dan pemerintah hingga detik ini. Seperti yang dapat diintisarikan dari pernyataan Sujanto bahwa masih banyak terdapat keluhan masyarakat terhadap kinerja guru Indonesia selama ini. Semua hanya menuding dan menuduh guru, menganggap guru kurang mampu mengajar dengan baik, tanpa mau tahu kenapa guru Indonesia jatuh pada keadaan seperti ini.[3] Kenyataan tersebut seharusnya dapat dilihat dengan pikiran terbuka dan sikap yang bijak bahwa adanya keluhan kinerja guru dan hambatan dalam pelaksanaan pendidikan di lingkungan masyarakat, secara sadar tidaklah disebabkan sepenuhnya oleh guru, akan tetapi ada pengaruh-pengaruh dari berbagai faktor di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat yang dapat pula menyebabkan melemahnya kinerja guru di Indonesia.

Selain itu, adanya anggapan bahwa profesi guru tidak menjanjikan kesejahteraan seseorang, saat ini pun masih menjadi rahasia umum di dalam lingkungan sekitar kita. Perihal tersebut jika kita lihat dari banyak sisi, memang benar adanya. Tetapi, tidak dapat kita dijadikan pijakan utama kita untuk menciptakan ‘mind-set’ kepada para pemuda bahwa berprofesi sebagai guru tidak akan membuat hidup kita sejahtera. Adanya rahasia umum tersebut, sampai hari ini pun kelihatannya masih menjadi faktor utama yang membuat para pemuda enggan mengenyam pendidikan guru. Atau, ‘mind-set’ guru Oemar Bakrie yang masih menempel erat dalam pemikiran para pemuda? Terbayang-bayang guru Oemar Bakrie yang menaiki sepeda tua dengan tas lusuh di tangannya. Padahal, hari ini, guru Oemar Bakrie sedang bertransformasi dengan kuat menjadi guru Oemar Bakrie yang tidak ingin lagi memegang predikat “Guru: Sebuah Profesi yang Tidak Menjanjikan Kesejahteraan Hidup Seseorang”.

Adanya kartu joker dalam lingkungan masyarakat perihal kesejahteraan seorang guru secara nyata telah menjadi pembicaraan utama masyarakat tentang profesi guru, yang menyebabkan profesi guru kurang diminati oleh para pemuda di negara kita ini. Seperti yang dipaparkan oleh Sujanto, insetif guru yang rendah sehingga banyak guru yang kehidupannya belum layak, dan menyebabkan profesi guru bukan menjadi pilihan utama para pemuda kita yang cerdas.[4] Rahasia umum tersebut merupakan fakta yang harus dilihat dengan mata terbuka oleh semua pihak. Masalah-masalah yang terjadi di lapangan perihal kesejahteraan guru perlu dibahas oleh seluruh pihak, baik pemerintah, masyarakat, dan seluruh pihak institusi pendidikan, secara objektif dengan menyisipkan hati nurani serta pemikiran yang bijak bahwa ‘guru pun seorang manusia yang memiliki tanggung jawab penuh dalam proses memanusiakan manusia’. Adanya rahasia umum tersebut, memang sudah ada sejak lama, sehingga menimbulkan persepsi masih rendahnya keberpihakan pemerintah kita terhadap pendidikan calon guru. Sementara di sisi lain, kinerja seorang guru benar-benar dijadikan tolak ukur keberhasilan suatu proses pelaksanaan pendidikan di sekolah. Ketika banyak pihak berharap besar adanya keberhasilan yang maksimal dalam sektor pendidikan di Indonesia, seyogianya pemerintah dan masyarakat juga harus mau mengubah sikap, pola pikir, dan kebijakannya mengenai pendidikan guru di negara kita. Adanya perhatian yang serius dari semua pihak untuk keberlangsungan pendidikan guru di Indonesia merupakan solusi yang dirasa tepat untuk menghapus sedikit demi sedikit rahasia umum perihal kesejahteraan guru di negara kita.

Kembali pada fokus utama tulisan ini yang menggarisbawahi perihal “Anak Muda, Seorang Guru?”. Di lapangan, guru dianggap sosok yang penting, namun kenyataannya selalu termarginalkan di lingkup masyarakat. Profesi guru sering dipandang sebagai sebuah profesi di mana sosok-sosok yang menjadi guru perlu dikasihani, serta lebih menyedihkan lagi pandangan tentang profesi guru seperti ini justru dianggap suatu hal yang ‘biasa’. Ketika para pemuda kita terdorong hatinya untuk menjadi seorang guru, justru cibiran dari sekitarnya yang kerap kali diperolehnya. Adakah hal lain yang bisa lebih meyakinkan pandangan sekitar kita bahwa menjadi seorang guru merupakan persoalan keberkenanan hati seorang anak manusia? Adakah hal lain yang bisa lebih meyakinkan pandangan sekitar kita bahwa menjadi seorang guru akan selalu membuat kaya hati seorang anak manusia? Adakah hal lain yang bisa lebih meyakinkan pandangan sekitar kita bahwa menjadi seorang guru tidak akan menghilangkan masa muda seorang anak manusia? Adakah hal lain yang bisa lebih meyakinkan pandangan sekitar kita bahwa menjadi seorang guru merupakan profesi sejuta cerita bagi seorang anak manusia? 

Sosok guru, akan selalu dibutuhkan di dunia ini selama anak manusia masih perlu dididik. Tulisan sederhana ini murni dibuat bertujuan untuk mengangkat profesi guru di kalangan para pemuda di negeri ini. Berharap, tidak ada lagi pandangan sebelah mata yang diperuntukkan untuk guru-guru Indonesia. Tidak ada lagi persepsi miring atau cibiran dari masyarakat tentang keberkenanan hati seorang anak manusia yang memilih rezeki hidupnya dengan menjadi seorang guru. Tidak ada lagi sikap yang kurang menyenangkan terhadap kinerja guru di Indonesia. Keberhasilan pelaksanaan pendidikan di negara kita saat ini masih terus menjadi harapan besar bagi semua pihak. Melalui kerjasama yang baik dan terbuka dari pemerintah, masyarakat, dan institusi pendidikan, untuk semua faktor pendukung keberhasilan pelaksanaan pendidikan di negara kita, diharapkan mampu menciptakan sebuah persepsi baru yang lebih positif tentang profesi guru, terutama profesi guru di kalangan generasi muda di Indonesia. Semoga.

Semoga tulisan sederhana ini dapat memberi manfaat dan pesan positif bagi kemajuan pendidikan di Indonesia.

KAMI BANGGA MENJADI GURU DI INDONESIA!

Salam,

Dhinar A. Fitriany
(Seorang pengajar di sebuah universitas di Jakarta)

 
Ucapan terima kasih spesial teruntuk teman-teman guru yang telah mendukung adanya penulisan postingan ini.
1.  Alfian Refqi Ri'fai, S.Pd.
2. Cindy Aprialita, S.Pd.
3. Evi Noviani Silitonga, S.Pd.
4. Yayah Athoriyah, S.Pd.
5. Endah Puspita C., S.Pd.
6. Wulandari, S.Pd.
7. Gita Rosi Wulandari, S.Pd.
8. Kinanti Swastika, S.Pd
9. Ririn Puspitaningrum, S.Pd.
10. Saddam Fathurrachman, S.Pd.
11. Maulana Husada, S.Pd.
12. Aghfir Kurnia Sasi, S.Pd.
13. Afifah Nur Rahmah, S.Pd.
14. Yuni Chaerunnufus, S.Pd.
15. Donny Yoriva, S.Pd.
16. Suhfi Albab, S.Pd.
17. Wahyudi Hanaffy, S.Pd.


Sumber Referensi :
Sujanto, Bedjo. Guru Indonesia dan Perubahan Kurikuum: Mengorek Kegelisahan Guru. Jakarta: Sagung Seto. 2007.
Soetjipto, dan Raflis Kosasi. Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta. 2007.


[1] Prof. Soetjipto dan Drs. Raflis Kosasi, M.Sc., Profesi Keguruan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 34.
[2] Soetjipto dan Raflis Kosasi, Op.Cit., hh. 34-35.
[3] Prof. Dr. Bedjo Sujanto, M.Pd., Guru Indonesia dan Perubahan Kurikulum: Mengorek Kegelisahan Guru, (Jakarta, Sagung Seto, 2007), h. 12.
[4] Sujanto, Op.Cit., h. 12.

Lampiran Foto  :






















 

No comments: